Social Icons

a

Minggu, 10 Februari 2013

Untukmu, Sobat Dakwahku


UNTUKMU, SOBAT DAKWAH

Huft,, sebenarnya Gue bingung harus mulai dari mana, yang jelas, sejauh yang Gue pahami, temen – temen deket Gue atau orang – orang yang pernah ngaku didepan Gue yang juga dianggap (oleh orang sekitarnya) sebagai kader dakwah itu sepantasnya wajib mengoreksi total pandangan dan sikap hidupnya secara berksinambungan, agar kualitas imannya selalu UpDate dengan berbagai permasalahan yang kian canggih, tentunya hal ini memerlukan satu alat yang memang tak perlu diragukan lagi kecanggihannya dalam menopang – merancang bangun kehidupan baik dalam skala prbadi à famili à komuniti à Negeri, lalu apa nama alat itu ? Jelas, alat itu bernama al-Qur’an, bukan al-Qur’an menurut Sunnah suatu golongan, apalagi al-Qur’an menurut Sunnah Ustadz atau Kyai, tetapi al-Qur’an menurut Sunnah Muhammad SAW, kenapa ? Karena 1) Muhammad SAW sendiri telah direstui oleh-NYA agar menjadi satu – satunya penjelas (nabi dan Rasul) bagi al-Qur’an, 2) Kepribadian Muhammad SAW telah diibaratkan oleh Aisyah r.hum sebagai “al-Qur’an Berjalan”, 3) Sebaik – baiknya tafsir al-Qur’an adalah “al-Qur’an” itu sendiri, karena melaluinya lah Islam ini menjadi sistem yang tegas, namun juga fleksibel dan cair dalam memenuhi kebutuhan ruang dan waktu yang terus berubah – turun naik – dan terus berputar, tidak terbatas pada subjektifisme seseorang atau golongan. Untuk itulah, Imam Syafi’i pernah menegaskan, “Siapapun yang berpendapat boleh kau tolak, termasuk aku, namun tidak untuk Rasulullah SAW.”

Entah, tapi udah jadi mayoritas kenyataan, dimana kajian ke-Islaman saat ini memiliki kekentalan subjektifisme sang pengajar, ini memang tidak baik bagi kedewasaan – kebijaksanaan iman (pandangan dan sikap hidup) orang atau murid yang diajarnya, karena belum tentu subjektifisme tersebut mampu secara canggih menjawab masalah yang dihadapi muridnya.  Ketika murid tersebut terjun kelapangan dan mengalami berbagai permasalahan yang ternyata terbukti lebih canggih dari bekal ke-Ilmuan nya, maka terlihat lah dia dimata “orang lain” sebagai orang atau murid yang kaku, penjawab yang ortodoks, tidak fleksibel, dan tidak bijak dalam membahasakan Bahasa Wahyu tersebut, malah justru ia ikut terhanyut arus kehidupan. Jangankan untuk terjun dan turut meminimalisir permasalahan “orang lain”, untuk “internal” lingkungannya saja sang murid masih belum terbukti kuat dalam menyelesaikan perkara – perkaranya. Untuk itulah sang Murid harus berani mencoba melihat apa – apa yang diluar dari lingkungan ke-Ilmuannya selama ini (ber-eksperimen), adu atau bandingkan antara kebenaran satu dengan kebenaran yang lain, supaya kita tahu mana yang paling benar dan pas dalam mengamalinya. “Semakin menjelajah maka akan semakin bijaklah ia, atau semakin berilmu seseorang tentulah akan semakin bijak ia dalam menyelesaikan masalah”. Gak usah takut salah, karena ini dalam masa pembelajaran dalam ber-Agama, bukankah kita ingat ? “Untuk tahu yang benar, kita juga harus tahu yang salah”. Atau untuk tahu limu/keterangan yang “UpDate” dalam menyelesaikan masalah, kita juga harus tahu ilmu/keterangan yang gak “UpDate” dalam menyelesaikan masalah.

Kembali ke paragraf dua, berhubung Pengajar zaman sekarang mayoritas memahami Islam berdasarkan Subjektifismenya, dan Gue gak mau Loe jadi korban Subjektifismenya, monggo kita simak Firman Allah SWT, biar seluruh pola Dakwah Loe Lebih Canggih dari Permasalahan, Realistis, Sistematis dan Objektif, diantaranya :

1.      Jangan Tergesa-gesa menerima berdasarkan Al-Qur’an surat Qiyamah ayat 16 (75:16) :
Ÿw õ8ÌhptéB ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 Ÿ@yf÷ètGÏ9 mÎ/ِ ÇÊÏÈ
 “Janganlah kamu menggerakkan lisan kamu untuk segera menerimanya”.

2.      Jangan Tergesa-gesa menolak berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 41 (2:41) :
Ÿwur... (#þqçRqä3s? tA¨rr& ¤Ïù%x. ÏmÎ/ ...
“ ... janganlah kamu menjadi orang yang pertama kali mengingkarinya...”.

3.      Catatlah dengan baik japa – apa yang baik dan bermanfaat, usahakan catatan yang dicatat tidak beda antara si penyampai dengan yang membaca, karena dalam hadits Nabi SAW menyebutkan:

اَلْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ

Artinya : “Ilmu itu bagaikan buruan dan menulisnya adalah sebagai ikatan”.

4.      Kita perlu kembali ke abad-6 sesuai dengan fatwa Sayidina Ali r.a:

اُنْظُرْمَاقَالَ وَلاَتَنْظُرمَنْ قَالَْ

Artinya : “Tanggapilah apa yang ia katakan dan jangan kamu melihat orang yang mengatakan”.

Sampai disini, setujuU ? yang setuju ngacung YowW !! ^_^.

Terimakasih                                                                                                                      Untukmu, Sobat Dakwah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar