Kamis, 04 Juli 2013
Risalah KKN
RISALAH KKN
Sekuncup yang Terpikir,, Hingga Memekarkan
Sekuntum Harapan
=====================================================
“Jika Anda menginginkan satu tahun
kemakmuran, tanamkanlah benih. Jika Anda menginginkan sepuluh tahun kemakmuran,
tumbuhkanlah pohon. Jika Anda menginginkan seratus tahun kemakmuran, maka
metamorfosiskan lah manusia.”
(
PRIBAHASA CINA )
Bismillah ...
1.
Bila
Kalian mencari Penilai-an Akademis,, Maka Kalian akan dipaksa mengupayakan Program Kerja yang terbaik. Lain hal jika Kalian
mengutamakan Penilaian-NYA melalui Program Kerja yang terbaik, maka Kalian lah
yang akan dicari oleh Penilaian Akademis, begitu juga dengan Kekompakkan Tim
yang akan datang dengan sendirinya.
2.
Sebenarnya,,
ada Program Kerja Fudamental, baik sebagai Individu maupun sebagai tim yang
harus kalian lebih perhatikan terlebih dahulu, yakni Memahami Masyarakat
(termasuk Tingkatan Pendidikan, umur, Kesejahteraan, dll) secara Objektif.
Buatlah mereka merasa bahwa Masyarakat juga merupakan bagian dari Keluargamu,,
jika PROKER tidak berdasarkan Pemahaman ini, dikhawairkan PROKER hanya bersifat
"anget-anget tahi Ayam".
Atau bisa juga GAGAL. Selain itu,,
PROKER yang terlahir adalah PROKER yang Berbasiskan Kebutuhan Vital Masyarakat, bukan Keinginan Masyarakat,, apalagi Keinginan Mahasiswa/i . Kuulangi,, ProKer KKN adalah buah
dari Pemahaman dan Ke-ikhlasan dalam ke-masyarakat-an.
3.
Sejujurnya,,
dalam mengembangkan SDM masyarakat,, masyarakat
tidak membutuhkan Mahasiswa/i yang pintar dengan IPK diatas 3 atau
Mahasiswa/i kaya. Yang Masyarakat butuhkan hanyalah Mahasiswa/i yang bisa
mencintai mereka sebagaimana Keluarganya sendiri,, yang rendah hati dan mau
berkorban setulus mungkin.
4.
Perlu diketahui,, dari segi kuantitas
pemanfaatan waktu, ketika KKN maka kalian harus 70% diam atau mendengar
Masyarakat dan 30% bicara atau action, namun dari segi kualitas pemanfaatan
waktu,, maka kalian harus 70% Action dan 30% diam.
5.
Bukan
berarti kalian telah menjadi Mahasiswa/i kalian lebih mapan atau lebih jago
dibandingkan masyarakat dalam Pemanfaatan dan Pengembangan Teknologi Sosial yang ada. Jadilah ANAK MANIS ketika bermasyarakat. Jangan sungkan mengakui
ketidakmampuan atau kekuranganmu sebagai Mahasiswa/i. Ingat,, Mahasiswa/i yang baik hanya mengajari
Masyarakat, namun lain halnya dengan Mahasiswa/i yang bijak,, ia juga akan
belajar dari Masyarakat itu sendiri.
6.
Ada
4 Tipe Masyarakat : 1). Mayarakat yang tahu kalau mereka tahu 2). Masyarakat
yang tahu kalau mereka tidak tahu 3). Masyarakat yang tidak tahu kalau mereka
tahu 4). Masyarakat yang tidak tahu
kalau mereka tidak tahu. Nah,, Tipe Masyarakat yang seperti apakah yang kalian
temui sekarang ? ini bisa dipantau dari seberapa besar antusias atau dukungan
mereka terhadap kedatangan kalian.
7.
Sering
ada perbedaan yang besar antara apa yang mungkin dapat kalian kerjakan
dengan apa yang DAPAT DIKERJAKAN oleh kalian berdasarkan sumber-sumber
Internal yang ada.
8.
Mengingat
UIN SUKA memiliki citra ke-Agama-an yang lebih kental bila dibandingkan dengan
Universitas lainnya,, maka seYogyanya menjaga
dan memelihara citra tersebut sebaik dan seindah mungkin, mulai dari Disiplin
Shalat Berjamaah,, Tata cara berpakaian,, Tata cara menyapa,, tata cara
berjalan,, tata cara berbicara,, tata cara berkunjung kerumah Warga,, dsb harus yang Indah dan benar menurut Qur’an
dan Sunnah Muhammad SAW. Sepakat ?
9. Yang
harus lebih diperhatikan dari semua Point diatas adalah tentang Fokus terhadap
“Orientasi Proses”, bukan fokus pada
“Orientasi Hasil”. Right ??
Alhamdulillah
...
Terimakasih Risalah
KKN
Atsmofir Pemasaran Buku di Indonesia
“ATSMOFIR
PEMASARAN BUKU DI INDONESIA”
Oleh:
Rhenald Kasali
Sumber:
Jawapos 20 & 27 Juni 2011 (Memasarkan Buku I dan II)
Bismillah ...
Bagian
I
Banyak
pembaca bertanya, kalau tidak dengan cara bombastis, bagaimana cara memasarkan
buku? Maklum, ada-ada saja cara para pendatang baru memasarkan bukunya
belakangan ini. Mulai dari menebar uang recehan dan voucher seminar kepada
penduduk kampung dari helikopter, sampai mengirim peti mati.
Tidak
hanya itu, pengarang-pengarang baru itu juga mengajarkan cara-cara bombastis,
cenderung jalan pintas kepada anak-anak muda. Sementara itu, tanpa menggunakan
cara-cara seperti itu, saya sendiri bisa menjadi saksi bagi Anda, buku-buku
yang ditulis dengan baik bisa menembus pasar secara elok. Saat kolom ini
ditulis, saya baru menerima pemberitahuan dari penerbit bahwa cetakan ke empat
buku ke-19 saya (Cracking Zone) telah beredar. Padahal buku ini baru
diluncurkan empat bulan yang lalu.
Mungkin
bukan hanya Cracking Zone yang menjadi koleksi pembaca. Bagi saya, di era informasi
seperti ini buku yang baik akan berbicara sendiri. Sebaliknya, buku yang kurang
bagus, mau dipromosikan seperti apapun pasti akan sulit diterima oleh pasar.
Jadi mengapa tidak memulainya dari produk yang bagus?
Timbul
pertanyaan, kalau cara-cara yang sehat saja masih bisa dilakukan, mengapa harus
menggunakan cara-cara gila? Benarkah sebuah buku yang bagus isinya tidak akan
dilirik pasar?
Fiksi atau Non-Fiksi
Bukan
rahasia umum bahwa dunia buku adalah dunia fiksi. Buku-buku yang terjual
ratusan ribu, bahkan jutaan kopi adalah buku-buku fiksi. Sementara itu
buku-buku non-fiksi, kalau tidak menjadi perhatian publik atau tidak menjadi
bacaan wajib di sekolah, paling banyak hanya terjual sepuluh atau dua puluh
ribu kopi. Sedangkan mayoritas buku yang dibuat asal jadi, menjual seribu kopi
saja susahnya setengah mati.
Namun
dunia fiksi menjadi ramai karena banyak cerita dan karangan yang bisa diangkat
secara fiktif, baik dalam penokohan, pemasaran, kemasan, maupun event-nya. Maka
cara-cara fiktif dalam pemasaran buku fiksi adalah biasa.
Menjadi
masalah bila seorang penulis tidak bisa membedakan keduanya. Buku-buku
manajemen, ekonomi, science, dan self help (termasuk motivasi) adalah buku
non-fiksi yang harus ditulis berdasarkan fakta dan pengetahuan, bukan sembarang
bicara. Meski terlihat indah, mengharukan dan seakan memotivasi atau
seakan-akan benar, karya non-fiksi tidak dapat disajikan tanpa dasar.
Jadi
celakalah bila buku-buku non-fiksi yang dipasarkan dengan pendekatan fiktif,
apalagi bila dibuat bombastis. Buku Harry Potter misalnya, bisa saja dibuat
bombastis, memakai tokoh-tokoh animatif, diluncurkan tengah malam dengan ribuan
remaja mengantri. Tetapi saya tak akan melakukannya untuk buku-buku manajemen
(non-fiksi) yang saya tulis.
Jangankan
pemasaran, isinya pun harus ditulis dengan penuh kehati-hatian. Anda memerlukan
landasan teori untuk menyampaikan kebenaran meski bahasanya dibuat semudah
mungkin untuk dipahami dengan contoh yang dekat pada pembacanya. Mungkin Anda masih ingat kontroversi yang
dialami Robert Kyosaki yang terkenal dengan buku Rich Dad-Poor Dad-nya. Kisah
bapaknya yang kaya (yang menjadi fokus karyanya) di bongkar oleh John Reed
(Harvard) yang ternyata kisah yang diangkat Kyosaki hanya fiktif belaka.
Kalau
Anda dalami lebih jauh, Anda akan menemukan masalah moral di dalam buku ini
yang mungkin telah turut melahirkan orang-orang yang ingin cepat kaya yang
sekarang menjadi buronan polisi dan KPK. Masalah moral itu adalah serba
mementingkan si kaya, objektif
kewirausahaan adalah cepat kaya, berani berspekulasi, sekolah tidaklah penting,
dan jangan akui orang tua kandung kalau dia miskin.
Berbahaya
bukan? Entahlah bila Anda mengatakan tidak. Tetapi bagi saya, hal seperti ini
banyak kurang patutnya.
Nah,
bagaimana respons para pengikut Robert Kyosaki? Anda mungkin sudah bisa
menerka, para pengikut yang kurang cerdas, tentu akan beranggapan postulasi
Kyosaki benar. Mereka ingin cepat-cepat sukses dan cara-cara bombastis pun
digunakan. Buku mereka mungkin tidak sebagus buku yang benar-benar bagus, sebab
mereka beranggapan semua itu tidak penting. Yang penting heboh dan dibeli. Soal
dibaca nomor dua. Dipakai untuk hidup tidaklah penting, yang penting mereka
dianggap hebat, kreatif, dan berani. Lalu cepat menjadi kaya. Mereka lupa, buku adalah karya ilmiah. Dengan
buku, kita tidak asal bicara atau menulis. Kita menyajikan fakta, hubungan dan
kebenaran. Bukan asal bicara, asal gagah-gagahan. Kalau tak punya ilmu, tulis
saja biografi, tak usah sok ilmu-ilmuan, atau mencaci maki ilmu pengetahuan.
Inilah
cara-cara yang tidak dianjurkan, karena cara-cara seperti ini hanyalah cocok
untuk memasarkan buku-buku fiktif, yang hanya merangsang imajinasi. Minggu
depan akan saya lanjutkan dengan pengalaman saya memasarkan buku secara elok.
Selamat berkarya.
Bagian
II
Melanjutkan
kolom minggu lalu maka saya akan mengulas bagaimana memasarkan buku nonfiksi
secara lebih elok. Pertama-tama tentu
kita harus memahami bagaimana sebuah buku dipasarkan. Di negara-negara maju, penulis tinggal duduk
manis, penerbitlah yang bekerja keras memasarkan buku. Mereka berburu naskah-naskah bagus dari
pengarang atau ilmuwan terkemuka, dan bila ada kesepakatan maka penerbitlah
yang merancang strategi pemasarannya.
Semuanya tentu dimulai dari produk yang bagus, yang didisain secara
khusus, dipilih waktu yang tepat, dan dikomunikasikan melalui strategi promosi
tertentu.
Tendensi Asal-asalan
Namun
di sini situasinya terbalik. Penerbit
cenderung enggan berpromosi. Ada
tendensi mereka hanya berburu naskah sebanyak mungkin, bahkan siapa saja boleh
membuat buku, bagus atau jelek itu relatif.
Bahkan ada penerbit besar yang terkesan hanya punya target menerbitkan
naskah sebanyak-banyaknya dalam setahun.
Penulis-penulis muda yang cerdik memanfaatkan penerbit yang asal membuat
buku dengan membuat judul yang "menggoda" meski isinya sesungguhnya
tidak punya dasar ilmiah sama sekali.
Buku itu diedarkan ke toko-toko buku dengan dibungkus cover plastik, dan
pembaca kesulitan menerka isinya.
Ketatnya
persaingan antar penerbit dan antar buku membuat penerbit gelap mata. Bahkan
dalam industri buku-buku pelajaran sering kami temui buku-buku yang sangat
tidak bermutu yang dipakai sebagai buku acuan sekolah. Sebagai orang tua, saya masih sering duduk
bersama anak bungsu saya, menemaninya belajar dan menafsirkan isi buku yang
dipakai di sekolahnya. Dari situlah saya
mengerti, bagaimana anak-anak didik kita kebingungan mengikuti ujian nasional
atau kenaikan kelas. Buku-buku itu
ditulis dengan bahasa yang berputar-putar, terkesan ditulis oleh orang yang
kurang berilmu dan tak bisa menulis dengan baik. Rumus-rumus ditaburkan tanpa konsistensi
istilah, yang kalau dibaca halaman lebih lanjut akan lebih membingungkan. Saya tidak bisa mengerti apa rahasia seorang
anak didik bisa mendapat nilai yang tinggi di sekolahnya dari buku-buku wajib
yang dibuat seperti itu.
Dalam
industri buku umum, hal serupa juga terjadi. Ada pengalaman beberapa orang yang
tidak bisa menulis buku bisa berbangga mengaku sebagai penulis buku. Bukan, ia tentu bukan penulis. Pembaca saja
yang dikibuli. Buku itu adalah karya
penerbit yang menuliskan pikiran-pikiran orang itu. Mengapa penerbit mau melakukannya? Wajar saja kalau orang yang saya maksud
memiliki nama besar. Katakan saja sebuah
biografi yang menyangkut tokoh tertentu, wajar kalau bukunya dibuat dengan
bantuan penulis atau ghost writer. Tapi
yang saya maksud bukan ini. Buku self
help atau manajemen yang ditulis seorang pendatang baru ternyata juga bisa
dituliskan oleh penerbit hanya karena si penulis datang dengan iming-iming akan
membeli lima atau sepuluh ribu kopi.
Jadi Anda bisa bayangkan bagaimana controlling idea isi buku tersebut:
Amburadul dan asal terbit.
Unik
juga kok buku-buku seperti itu bisa laku dan penerbit senang saja membela
mereka? Jawabnya adalah karena penerbit
dapat uang. Dan saya saksikan buku-buku
itu dipasarkan penulisnya dengan diskon khusus, dibundling dengan seminar
bombastis, yang dilengkapi iming-iming paket seminar seharga lima juta rupiah,
tapi kalau beli buku seharga seratus ribu akan dapat seminar gratis. Ajaib ya? Buku itu laku bak pisang goreng.
Namun
demikian, seharusnya buku yang baik memang menjadi tanggungjawab penerbit dan
penulis. Penerbit harus mampu
mempromosikan isi buku dan membuatkan desain yang bagus, serta meletakkannya
pada lokasi yang strategis di toko buku.
Namun lagi-lagi karena penerbit dikejar target sekian ratus judul buku
dalam setahun, maka kesan mass production pun tak terhindarkan. Cover dan isi dibuat dengan desain asal jadi.
Bahasa dan content sulit dipertanggungjawabkan, dan akhirnya buku itu hanya
bertahan beberapa bulan saja di toko buku.
Menurut
saya, sebuah buku yang baik tak memerlukan bombastisme dalam pemasarannya
asalkan sedari awal penulisnya benar-benar memikirkan situasi yang dihadapi
pembacanya. Buku yang baik itu langka
karena ditulis dengan penuh kesungguhan, dari jam terbang penulisnya yang
tinggi. Ia menggabungkan ilmu
pengetahuan dengan kebutuhan praktis pembacanya. Bahasanya sederhana sehingga
mudah dipahami, kaya contoh, banyak ilustraasi dan isinya mengalir, penuh
pandangan-pandangan baru yang didapat dari kajian ilmiah.
Dengan
demikian, penulis buku yang bagus harus percaya diri. Tak perlu mengundang
sensasi seakan-akan buku yang bagus tak akan diperhatikan kalau tidak bombastis. Justru sebaliknya cara bombastis akan
mengundang kecurigaan pasar generasi baru yang sangat kritis. Kalaupun buku-buku seperti ini mendapat
pujian, kita pun dapat menerkanya, itu hanyalah pujian semu yang
dikarang-karang para penulis buku dan para karyawannya saja.
Sekarang
ini kita semua hidup dalam era jejaring sosial yang serba gratis. Pasarnya adalah Generation-C yang terhubung
satu dengan lainnya. Sebuah buku yang
bagus akan cepat diulas dari mulut ke mulut, dari satu layar monitor ke layar
monitor lainnya. Sebaliknya, buku yang
buruk akan dikutuk ramai-ramai pula.
Jadi dalam sosial media, Anda tak bisa lagi memasarkan buku dengan
jargon jualan kecap. Seperti kata-kata:
belilah, dasyat, tak ada duanya, dan seterusnya. Jelaskan saja bagian yang menarik, biarkan
pembaca menyimpulkan sendiri.
Peran Penerbit
Dulu,
penerbit masih sering beriklan. Namun
sejak tarif iklan pada media konvensional melonjak drastis, penerbit urung
berpromosi di media cetak. Penerbit
lebih menjalankan peran produksi dan distribusi, lalu bayar rolayti antara 10
hingga 12 persen. Paling jauh penerbit
hanya memberi dukungan minimal pada saat book launching.
Dari
pengalaman saya, sikap penerbit memang diskriminatif. Artinya, kalau Anda penulis besar dan nama
sudah dikenal, atau penerbit berkeyakinan buku Anda akan meledak, maka mereka
akan membuatkan program promosi yang bagus.
Mobil box distribusi akan dilengkapi billboard aneka warna, display
dipajang di toko buku, dan sesekali Anda akan ditampilkan di media massa. Selebihnya, penerbit hanya melaporkan berapa
royalti yang telah ditransfer setiap tiga bulan sekali.
Ini
berarti peran penerbit minimal sekali, dan lagi-lagi karena buku yang mereka
cetak dan edarkan setiap bulan jumlahnya sangat massal, sehingga tak ada
jaminan buku Anda akan bergerak dinamis hanya dengan menyerahkan nasib Anda ke
tangan penerbit. Dari situlah saya
meyakini, peran penulis sangat besar. Penulis harus bisa menjadi distributor
yang mampu menjual buku lebih banyak dari masing-masing toko buku. Tentu saja Anda tak perlu membawa peti mati
atau membakar petasan besar, cukup menstimulasi orang untuk mendiskusikannya.
Di era social media ini, buku yang baik akan betcerita dengan sendirinya. Jadi? Percaya diri saja, dan jangan berhenti
menulis. Perkaya ilmu Anda sehingga membuat pasar Anda percaya pada Anda, perbaiki kualitas buku Anda dari waktu
kewaktu, dan tak perlu lebay. [Rhenald Kasali]
Alhamdulillah ...
Terimakasih Atsmofir
Pemasaran Buku di Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)