Social Icons

a

Senin, 01 April 2013

Berguru Pada Rokok


BERGURU PADA ROKOK


Belajar Dari Rokok,

Di satu kesempatan diskusi dengan beberapa orang yang notabanenya sebagai kader dakwah, saya menegaskan bahwa rokok lebih jauh dinikmati oleh masyarakat dibandingkan dakwah, apapun merk rokoknya yang jelas rokok sudah menjadi sesuatu yang paling banyak dinikmati dan membuat si penghisap menjadi ketagihan – walaupun sesama perusahaan rokok itu sendiri bersaing – bahkan saling menjatuhkan. Lalu bagaimana dengan manajemen dakwahnya – para pemimpinnya (qiyadah) – dan para kadernya ?. Dibalik rokok tentunya ada manajemen perusahaan – bahkan sampai manajemen pemasaran dan standard rasa untuk rokok itu sendiri !! lalu bagaimana dengan dakwah ? padahal usia dakwah sudah lebih dulu ternilang klasik bila dibandingkan dengan usia rokok tersebut.

Terus terang, sampai disini pun mereka yang menemani diskusi saya waktu itu merasa malu – sangat malu. Ya, mereka merasa malu – sangat malu, seolah mereka sebagai insan kalah dengan sebatang rokok – seolah mereka merasa bahwa Organisasi - organisasi Islam yang goalnya adalah Ridha-NYA bisa – bisanya kalah atau tertinggal begitu jauhnya oleh perusahaan kapital tersebut. Ada apa ini ? Padahal mereka shalatnya rajin, ngajinya rajin, puasanya rajin, dan berbagai rutinitas amalan sunnahnya pun Insyaallah terbilang rajin, lalu mengapa dakwah ini tidak menjadi sesuatu yang paling banyak dinikmati oleh masyarakat ? lalu mengapa Organisasi – organisasi Dakwah tidak memiliki peminat yang tidak ada apa – apanya dibandingkan dengan rokok ? lalu bagaimana dakwah ini menjadi sesuatu yang dapat membawa rasa “ketagihan” bagi mereka yang “menghisap” dakwah ini ?.

Mungkin sebagian pembaca akan berpikir: “ya gak etis lha,, masa membandingkan dakwah dengan rokok ? rokok itukan barang haram atau makruh atau gak ada cap/logo halalnya,, jadi wajar kalau manusia lebih minat sama rokok, lagipula nafsu manusia kan lebih condong kearah yang membawa kerugian atau keburukan atau lebih mudah berbuat dosa/sia-sia dari pada jalan menuju surga. Lain sama dakwah, dakwah itu dari dulu memang sulit diminati oleh manusia, makannya lebih banyak masuk neraka daripada surga, dan bla – bla – bla......dst.”

Atau mungkin sebagian pembaca akan berpikir juga: “Tentu tidak pantas,, masa kita membandingkan antara kelebihan dengan kekurangan, membandingkan antara kekuatan dan kelemahan, membandingkan antara prestasi dengan kegagalan, karena dengan membuat perbandingan yang tidak sepadan maka kesan yang kita dapat adalah kita akan selalu merasa tidak berdaya, kalah dan lemah dari kemampuan orang lain........dst.”

Oke, saya sepakat dengan pendapat atau cara berpikir dari pembaca yang seperti itu, itu sangatlah bijak, bagus atau terbilang briliant, dan oleh karenanya, ada satu hal yang mungkin – bahkan sangat saya ingin sampaikan dan tegaskan ke pembaca, yakni: mencoba/ berani untuk melakukan “concessions thinking” atau “berpikir mengalah”. Ya, berpikir mengalah, karena dengan cara itulah kita tidak terlalu banyak menghabiskan tenaga, pikiran dan waktu untuk mengeluarkan berbagai macam alasan – alasan pembelaan atas kesalahan atau ketidak dewasaan kita dalam berdakwah selama ini, justru cara berpikir seperti itulah,  Insyaallah akan merubah/ membalikkan suatu keadaan yang (mungkin) tidak pantas untuk dibandingkan ––– kemudian merubahnya menjadi cambuk besar – sehingga membangunkan iman dan kesadaran masing - masing  pengevaluasian kinerja kita dalam berdakwah, baik dalam level pribadi maupun kominiti.

Sepaham saya, Nabi SAW + Abu Bakr + Utsman bin Affan + Abdurrahman bin Auf  + Ahmad Dahlan, dan masih banyak Sahabat atau Tabi’in atau ulama yang terbukti kuat sebagai Penguasa “pasar” pada masanya, baik dalam arti sempit maupun arti luasnya, jadi tidak mungkin bagi kita untuk bersikap naif akan “keulungan” tersebut.

Saya tunggu kabar baiknya !!


Terimakasih                                                                                                                        Berguru Pada Rokok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar