Social Icons

a

Sabtu, 20 April 2013

Sukses Tanpa Tahta


SUKSES TANPA TAHTA

=================================================================

Kata Pencerah Pertama

“Untuk membuat otobiografi yang sesungguhnya, si penulis hendaknya dalam keadaan susah seperti Rousseau, ketika dia menulis pengakuan-pengakuannya dan pengakuan yang demikian ternyata sukar bagi saya”. —Bung Karno—

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pendahuluan

Selama ini yang saya pahami, banyak orang memiliki istilah sukses yang subjektif, artinya istilah dari sukses itu sendiri masih didominasi oleh berbagai asumsi yang bersifat pribadi, dan oleh sebab itulah mengapa sukses yang dianggap oleh kebanyakan orang saat ini (sebenarnya atau sadar/tidak sadar) justru memiliki efek desktruktif pada jiwanya sebagai makhluk sosial – spiritual. Ada yang dianggap sukses tetapi hatinya justru semakin keras, ada lagi yang dibilang sukses tetapi hubungan–hubungan sosial – spritual baik terhadap keluarga maupun orang lain malah semakin retak atau pincang, ada juga yang dibilang sukses tetapi kesuksesannya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak untuk orang lain juga. Ironisnya, orang – orang sukses yang seperti itu sulit bahkan seolah tidak akan mungkin menyadari bahwa sukses yang didapatkannya adalah kesuksesan palsu. Dan lebih ironisnya lagi, disaat terjadi krisis kesuksesan hakiki saat ini, kita tidak atau belum atau sulit menemukan seorang pahlawan dalam sebuah kesuksesan hakiki, padahal dengan bertemu dengannya kita dapat bercermin dan bertanya apakah kesuksesanku ini palsu ? atau apakah selama ini kegagalan yang kudapat dan berhasil kulalui adalah kegagalan yang tidak objektif ?.
Mudah – mudahan, dikesempatan inilah kita semua dapat mengambil sebuah narasi yang mungkin asing bagi khlalayak pembaca-----namun Insyaallah dapat memberikan sebuah Inspirasi objektif bagi kelangsungan hidup sebuah pikiran dan perasaan kita sebagai makhluk peraih sukses.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Pencerah Kedua
“Sukses itu ketika anda konsisten pada kebenaran-NYA. (— Gandhi —)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Spasi Pembahasan
Sebelumnya saya meminta maaf kepada para pembaca, karna teks – teks selanjutnya adalah teks yang tidak sepenuhnya atau secara utuh tidak menggambarkan cerita – cerita yang mungkin sesuai “administrasi” tugas. Terus terang, saya sendiri bukanlah tipikal orang yang pandai mengobral cerita pribadi apalagi orang lain, kecuali itu memang teramat sangat diperlukan bagi khalayak, dan entahlah,, (kemungkinan besar) secara alami saya sungkan apabila mengkisahkan hal yang dimaksud tetapi  hanya demi rasional akademis. Bagi saya, cerita juga memiliki “nyawa”, jadi tidak sembarang tempat – waktu – dan kepentingan menjadikannys sekedar sebuah cerita yang di share begitu saja tanpa perlu mengeluarkan “harga” yang pantas untuk menebusnya. Ini bukan berarti saya “matre” dalam berkisah, tetapi hakikatya, Kisah bukanlah sekedar lukisan hidup yang terbahasakan oleh bahasa mata dan disenambungkan oleh bahasa lidah. Kisah merupakan sebuah sebuah bahasa pikiran dan hati, kemudian disenambungkan oleh bahasa jiwa yang menjelma kedalam segenap laku perbuatan sebagai tatanan hidup, kisah mengandung rahasia, rahasia mengandung nilai, dan nilai hanya bermanfaat bagi mereka yang sadar akan nilai tersebut.

Sebaik – baiknya kisah tentulah kisah yang mengandung Ilmu, dan Agar ilmu itu objektif, tentunya tidak terlepas dari kerelaan sang narasumber untuk “ditelanjangi” sejarah hidupnya, dan saya tidak rela pabila saya sudah melakukan “penelanjangan” baik itu pada diri saya sendiri atau orang lain, kemudian “ditonton” oleh khalayak tetapi “output”nya pun tidak lebih dari sekedar gelembung air, disentuh kemudian pecah. (selami kata pencerah pertama)

Ilmu itu engkau letakkan pada orang yang bagus membawanya dan tidak menyia-nyiakannya.” (Akramah r.a), saya yakin, pembaca cukup cerdas dalam melukiskan maksud saya melalui kalimat miring tadi. Dan sekiranya pembaca masih berkeras hati, maka saya hanya mampu menghimbau untuk menyimak satu pesan, yakni “buruk baiknya kehidupan seseorang hanya dapat dipertimbangkan setelah ia mati”. –Bung Karno- (dalam buku Soekarno Penyambung Lidah Rakyat: hlm 13)

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Pembahasan

Baiklah, disini saya akan menceritakan sebuah Success Story berdasarkan apa yang saya pahami, baik dari TK sampai Detik ini. Jadi definisi sukses bagi saya disini adalah tentang apa – apa yang telah saya pahami dan lakui. Tanpa mengurangi kepatuhan saya akan tugas yang diberikan Pengampu yang saya hormati, Labibah Zain, maka saya akan membahasnya berdasarkan potongan – potongan masa lalu (walau tidak seutuhnya), berikut :

1.      Ketika TK, yang saya pahami waktu itu adalah :

-           “Jangan takut pada siapapun kecuali pada-NYA”, sampai – sampai waktu itu saya pernah membuat nangis anak yang nakal + badannya 3x lebih besar dari saya dan dia ternyata anaknya preman dari RT sebelah.

-          “Cintailah orang yang mencintaimu”, kalau dikenang – kenang ternyata memang saya dulu anak yang paling disayang (mungkin dulu paling imut), baik dalam lingkup keluarga maupun saudara, sampai – sampai saya pernah “diumpetin” sama beberapa penjual baju di pasar yang biasa Ibu beli baju disitu. Memang waktu itu saya hanya dapat membalas cinta mereka dengan cara mudah bercanda + asyik pas diajak bermain + kalaupun sedang cengeng malah bikin gak tega orang yang ngeliatnya. ^_^

2.      Ketika SD, yang saya pahami waktu itu adalah :

-          “Hargai sesuatu meski itu hanya selembar kertas”, jadi salah satu kebiasaan buruk saya waktu SD adalah sering menyobek uang dan Ibu selalu disiplin atas kesalahan saya tersebut.

-          “Membeli itu apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan”. Salah satu hobi saya waktu itu adalah setiap hari HARUS ganti hapusan – pensil – dan alat rautnya, awalnya Ibu memakluminya, sampai pada titik batas pemakluman Ibu, akhirnya saya dididik perlahan untuk berani mengubah kebiasaan boros saya tersebut.

-          “Kakak harus lebih kuat daripada adik”. Didepan mata saya, seusai sekolah ada dua orang yang sedang berkelahi yang juga cukup dikelilingi siswa sekolah, dan ternyata salah satu orang yang berelahi waktu itu adalah Kakak saya, luar biasa kakak saya waktu itu, dia menang berkelahi dan membuat bonyok lawannya, memang pas melihat kejadian itu awalnya merinding dan takut, tapi setelah tahu alasan kenapa kakak saya berkelahi – saya justru salut akan tindakannya tadi.

3.      Ketika SMP, yang saya pahami waktu itu adalah :

-          “Seburuk apapun sang kakak, tetaplah ia menginginkan agar adiknya lebih baik darinya”. Dengan susah payah + mondar – mandir ke sekolahan, saya didaftarkan oleh kakak saya ke SMP dimana sebelumnya dia juga sekolah disitu, hanya saja waktu itu saya tahu dari orang tua kalau dia dulu kena kasus, yakni ketahuan main Gaple di kebon pisang sebelah sekolah + ada ceweknya + jadi jelek deh nilai Agamanya. Tapi kakak saya waktu itu (setelah segala urusan administrasi sekolah diselesaikannya) menegaskan ke saya: “Awas loe kalau sekolahnya maen-maen, sekolah yang bener” (Cuma itu yang saya ingat).

-          “Pilih mana ? dia atau kita?”. Saya waktu itu sempat “akrab” dengan selebriti kelas, keperpus bareng dan kekantin bareng, sampai saling tukar pantun atau puisi dengannya. Memang terasa indah waktu itu, sampai cabang pohon pun saya pahat kemudian dituliskan namanya. Tapi selang beberapa lama saya menyadari, bahwa apa yang saya lakukan dengannya selama ini ternyata menjauhkan saya dari pergaulan yang sebenarnya lebih luas dan menantang, selain itu saya juga menyadari seolah dunia ini milik kita berdua, lalu dimana mereka ? dan pada titik tertentu akhirnya saya kembali ke “habitat” seorang laki – laki, dan dari situ pula saya lebih tahu kalau lebih baik berteman daripada “berteman baik”, karna dengan cara itulah kita memiliki tools yang baik dalam memilih calon.

-          “Apapun situasinya, hadapilah “Api” dengan Air” yang sejuk”, suatu ketika guru saya curhat ke Ibu saat pengambilan raport kenaikan kelas 3 SMP, guru itu bilang, “saya itu bingung sama anak Ibu, padahal saya udah marah – marah dikelas ngomelin anak – anak !! eh si budi masih saja bisa senyum + maju kedepan menjawab soal”.

4.      Ketika SMA, yang saya pahami waktu itu adalah :

-          “Unik itu asyik asal gak ngusik”, karna waktu itu saya memelopori pemakaian Boxer + celana melorot + cukup handal di desain grafis, akhirnya saya sempat dijadikan salah satu trend centernya sekolah dalam hal berpakaian atau mode, karna itulah saya terkadang menjadi konsultan bagi teman seangkatan atau kakak seangkatan atau adik angkatan kalau mereka ingin membuat desain stiker/ kaos/ sweater/pin, dlsb. Sampai pada titik klimaks dimana saya cukup tersadar untuk merubah penampilan yang tadi akibat salah seorang guru mengatakan saya satu hal, beliau bilang: “kamu itu Bud, peraturan sekolah kok kamu injak – injak.”

-          “Benar ya Benar, salah ya salah”, sekolah ingin mengadakan study tour ke yogya dengan biaya diatas kewajarannya, semua siswa WAJIB ikut !!. dan betapa marahnya sang “panitia” waktu itu karna rencananya tersebut gagal total, artinya semua siswa kompak menolak, dan biang kerok yang membatalkannya adalah saya dan 4 teman saya dikelas (Bjo and the Gang). Sampai – sampai si “panitia” mengancam kami kalau nanti kami gak akan naik ke kelas 3, KAMI TIDAK TAKUT !!. awalnya kami mem-provokasi tentang kepincangan biaya, peserta , penginapan, makan, sejarah studi tour tahu lalu, dlsb ke teman sekelas, tetapi akhirnya itu provokasi nyerempet juga sampai kesemua kelas, akhirnya gak jadi deh semua ikut.

-          “Hormatilah orang yang pantas dihormati”, setelah Prahara Studi Tour, saya sadar, selama ini saya hanya mematuhi orang yang tidak patuh pada kejujuran yang diucapkannya sendiri, jadi waktu itu saya termasuk orang yang “Black List” dalam sekolah, dan kerjaan saya waktu itu hanya bertengkar dengan Guru à Kepala Sekolah, sampai – sampai salah satu jagoan disekolah heran dan bertanya ke saya” ‘Lu bandel apaan si Jo ? ngerokok engga, bolos enggak, tawuran engga, maen cewe engga, tapi Lu diomongin terus didepan kelas Gw sama “guru – guru”. Disekolah itupun hanya 2 Guru yang benar – benar saya hormati, why ?  karena apa yang diomongkannya sesuai dengan apa yang dilakukannya + mereka adalah orang yang paling menyadari “kenakalan” saya tersebut, dan konon katanya setiap rapat Guru berlangsung----Beliau ber-dua-lah yang selalu berani membela saya dengan alasan objektif.

5.      Ketika Kuliah, yang saya pahami adalah :

-          “Bukan siapa Orang Tuaku, tetapi “Siapa aku“---itulah yang terpenting”. Hal inilah yang membuat saya survive disaat Identitas Mahasiswa yang kian ditatap kian dangkal, saya berprinsip bahwa orang lain harus mengenal saya karena dominasi dari diri saya sendiri---bukan dominasi orang tua atau teman (Made in My Self). Ketika saya merasakan manis dan pahitnya dalam membangun Image Model tersebut, ketika itu pula saya akan merasakan kepuasan hakiki yang mungkin sudah menjadi barang langka bagi mayoritas kaum muda saat ini.

-          “Terhormatlah dimata wanita, maka kau akan terhormat dimata dunia”. Hal ini dapat saya pahami ketika saya selesai membaca buku yang berjudul La Tahzan For Muslimah karangan asma Nadia, dibuku itu saya membaca sebuah “bayangan” atas teks yang ada, dimana para Muslimah hakikatnya memiliki peran besar dalam menilai Muslimin sebagai lawan jenisnya, why ? karena mayoritas seorang Muslimah lebih mampu menilai lawan jenis dari hatinya, dan hatinya itulah yang memiliki kelembutan, ketulusan, dan ke-objektifan yang tidak dimiliki mayoritas Muslimin dalam menilai lawan jenis.




---Sekian---
--AFWAN--
Dikarenakan penulis tidak bisa menuangkan seluruh kisah pribadi dalam kesempatan yang seperti ini.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar