Minggu, 19 Mei 2013
Pustakawan dan Tiga Pilar Peradaban
BAB I
PENDAHULUAN
Terus terang selama ini saya
merasakan stagnasi proses atau dinamika pendidikan dalam Dunia Perpustakaan
yang membuat kita menjadi lambat dewasa, padahal kalau ditelisik lebih ojektif dan mendalam
– Ilmu Perpustakaan bukanlah ajang dari teori dan aplikasi subjektif sempit
belaka, tetapi juga sebuah ajang cipta – rasa – karsa dalam memposisikan
dirinya sebagai Inspirator Kecerdasan Sosial. Terlebih, sejauh yang saya
pahami, proses pendidikan Ilmu Perpustakaan justru ter-kotak-kan oleh hal – hal
yang bersifat analitis – teknis, artinya kita tidak memiliki medan tempur yang SENGIT yang sangat
memicu adrenalin kecerdasan kita sebagai makhluk pembelajar bagi Bangsa
ini, padahal kalaulah kita lihat beberapa disiplin Ilmu lainnya – mereka
memiliki sebuah medan tempur yang luas – liar – dan berbahaya, wajarlah mereka
begitu disegani oleh kehidupan sosial, lain halnya dengan kita yang menganggap
“pertempuran” tetapi sebenarnya pertempuran itu sendiri hanya dilakukan ditaman
kanak – kanak. Ironis sekali.
So
? kita harus EXPANSIVE !!
Kita juga mesti sadar tentang daya
dan kapasitas hakiki kita sebagai seorang Pustakawan, diantaranya kita bisa membantu
rekan disiplin ilmu lainnya dalam memperbaiki sejarah Bangsa kita sendiri yang
terekam oleh sitangan pemenang saja, kita juga dapat memperbaiki otak dan watak
dari umat yang tercengkram oleh belenggu informasi – informasi yang kurang dan
tidak mendidik, bahkan kita juga dapat saling bergotong – royong dengan kawan –
kawan disiplin ilmu lainnya dalam meluruskan kecarut – marutan Bangsa ini
dengan dasar pembacaan kita atas etika ke-Ilmu-an (nurani ke-ilmuwan).
Untuk itulah, agar kelaparan, kemiskinan,
dan stagnasi dalam proses pendidikan Ilmu Perpustakaan ini harus segara
diselesaikan se-segara mungkin (bukan berarti buru – buru), maka penulis
menyajikan satu Judul Emas yang kelak menjadi satu Rangkaian Keterangan Pasti
sehingga Insyaallah dapat menjadikannya satu Sistematik Penghentak bagi kita
semua yang membacanya dan menelaahnya dengan penuh hikmat, “Pustakawan dan Tiga
Pilar Peradaban”, itulah yang Insyaallah akan kita kupas dikesempatan kali ini.
Pada akhirnya, keresahan akan selalu datang menjenguk bagi kita yang hendak memfilsafati apa yang pantas untuk diamali. Keresahan itu sendiri sulit memiliki daya ledak saat ia tetap berada dalam bungkaman dan jeratan teoritis – teknis subektif akademis semata, tanpa sesekali dilukiskan dengan nyata melalui benturan – benturan intelektual dan praktikal. Dukungan sumber ide dan pengalam pribadi sebagai Tentara Kecerdasan sosial diharapkan akan menambah semarak penerimaan Pustakawan dan para Pemustakanya. Paling tidak, untuk menunjukkannya layak ditempatkan diatas kuncup ke-ilmiah-an akademis, sebagai renungan untuk membangun dan menjaga seluruh komposisi Disiplin Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang lebih baik – kuat dan objektif sebagai harapan umat informasi yang berdaulat.
* * * * *
BAB II
PUSTAKAWAN DAN TIGA PILAR PERADABAN
Sebenarnya apa yang disampaikan disini adalah representasi dari buku yang ditulis oleh Pak Fahri Hamzah (Kader PKS) dengan judul “Negara, Pasar, dan Rakyat”, hanya saja dari sekian banyak dan berbagai macam bobot pembahasannya, maka penulis mencoba memeras sebisa mungkin saripati yang terkandung didalamnya, sehingga kita sebagai Mahasiswa Teknik Kecerdasan Sosial mampu merelevansikan pembahasan didalam buku tersebut dengan berbagai permasalahan yang sebenarnya yang jauh lebih “seksi” untuk kita taklukan, dan itu (Insyaallah) sepadan dengan kapasitas nalar – eksekusi SDM kita, sebagai calon Pustakawan, Dokter Kecerdasan Sosial – Peradaban. Insyaallah !!
Ini bukanlah show bagi pribadi, tetapi ini adalah sebuah ajakan – khususnya bagi kesadaran intelektual kita masing – masing untuk selalu berpikir dan melakukan hal – hal yang tidak dapat dilakukan oleh orang rata – rata (Pekerjaan Pahlawan). Oke kita Mulai !!
Pustakawan dan Tiga Pilar Peradaban, kalau kita membuat sketnya, tentunya akan tergambar seperti apa yang terlihat dibawah ini:
Dimana :
1.
“A” = Negara à
Politik à
Ide à
Manajemen Dsitribusi “makanan” (Negarawan)
2.
“B” = Sosial àRakyat
à
Subjek atau asal muasal Pemerintahan/Negara (Kunci Sosial; artis, kyai, tokoh
masyarakat, dlsb)
3.
“C” = Pasar à
Ekonomi à
Uang à
Manajemen Produksi “makanan"
4.
“D” = Pustakawan à
? ? ! ! !
Selintas kita bertanya, kemana arah
tujuan pembahasan ini atas Tiga Pilar tersebut ? jawabannya sederhana, yakni
semaksimal mungkin kita “mengintervensikan kontribusi untuk turut memperbaiki
Tiga Pilar tadi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya”.
Saya yakin tentunya pembaca
melanjutkan pertanyaan tadi dengan pertanyaan baru, dengan alat atau cara apa
kita memperbaiki Tiga Pilar tadi ? jawabannya pun sederhana, ingat kata Albert
Einstein ? “Menjadi Buta Agama tanpa Sains, dan Sains menjadi Lumpuh
tanpa Agama”. Hakikatnya Agama juga berlaku pada “pasangannya” yang
lain, yakni Negara – Pasar – Sosial. Kenapa ? karena Agama adalah Hati atau Ruh
bagi Tiga Pilar tadi, apa artinya Negara à politik à
Ide tanpa Hati (cinta) ?, kemudian apa artinya Pasar à
ekonomi à
Uang tanpa hati (cinta) ?, lalu apa pula artinya Sosial à
Rakyat tanpa hati (cinta) ?, tentu runtuhlah Bangsa kita ini. Ingat apa kata
Bang Iwan Fals dalam Lagunya yang berjudul Bongkar ? “... Kalau cinta (hati)
sudah dibuang, jangan harap Keadilan akan datang ...”. tidak hanya Keadilan
yang akan datang manakala hati takterbuang, tetai kelembutan dan keindahan
hidup sesama manusia juga akan datang !! sepakat kan ?
Saya yakin, beberapa diantara kita
masih mempertanyakan kenapa cara atau alat yang kita pakai untuk memperbaiki
Tiga Pilar tadi adalah Agama ?. hakikatnya, ke-alamian Agama saat ini mengalami
pendangkalan, dimana Agama hanya dijadikan Bahasa Pengakuan atau Ritual Mahdhah,
padahal Nature dari Agama itu sendiri adalah Bahasa Penataan atau Wahyu, dimana
Bahasa Wahyu itu sendiri memiliki Tiga Nilai Paripurna (yang saya pahami), diantaranya:
1. Bahasa
Persatuan (Q.S al-Hujurat: 13) à DIA menciptakan bermacam – macam
dimensi kehidupan ini agar sesama Dimensi kehidupan itu sendiri saling
menaungi, tidak saling mencederai apalagi tumpang tindih.
2. Bahasa
Kesadaran Tugas Hidup (Q.S al-Baqarah: 30) à menjadi Manajer
kebutuhan hidup bagi Umat dan alam sekitarnya.
3.
Bahasa Prinsip Kehidupan Hakiki (Q.S al-An’aam:
162) à
aku bernegara, aku berkaya raya hanya untuk menggapai satu tata kehidupan yang
hakiki, yang saling menaungi, dan tidak ada penindasan.
Walau saya sendiri merasa belum
dapat sepenuhnya menghilangkan dahaga pembaca akan alasan seorang Pustakawan
dalam memperbaiki Tiga Pilar tersebut HANYA dengan satu cara atau alat Ilahi
tadi, tetapi itulah Agama, dibalik Agama tentunya ada Kitab-NYA, dan dibalik
kitab-NYA itu ada DIA, dan DIA lah yang Maha Paham atas berbagai kepelikan dan
krisis seluruh Dimensi kehidupan kita, karan DIA juga yang menciptakan semua
yang ada termasuk kita dan permasalahan kita, sementara kita hanyalah manusia
yang Maha Tidak Tahu atau Maha Bodoh. Yang jadi Permasalahannya disini
adalah... sudah sejauh mana pemahaman dan amalan kita dalam Ber-Agama ?
selesaikan dulu urusan Basic ini baru kita membicarakan Tiga Pilar ini. Karna
perubahan hakiki adalah perubahan yang dimulai dari pribadi à
famili à
komuniti à
negeri, sederhana kok !!
*
* *
Oke !!
Saya anggap pembaca sudah
menyelesaikan “urusan Basic” tadi (Insyaallah),,, jadi langsung saja kita Check
penyakit dan langkah penanggulangan atau pengobatan yang harus kita lakukan di
Tiga Pilar Peradaban tersebut, kita mulai dari:
1. Pasar :
Apa
krisisnya ?, BANYAK !! tapi satu yang kita ambil yang penulis ketahui paling
melatar belakangi kecarut – marutan Pasar, yakni: Pasar dikooptasi oleh
negara dan oleh mereka yang memiliki akses kekuasaan pribadi.
2. Negara :
Apa
krisisnya ?, BANYAK juga !! tapi satu yang kita ambil yang penulis ketahui
paling melatar belakangi kecarut – marutan Negara, yakni: Banyak Birokrat
yang tidak mengerti à sadar penuh à
tergerak, bahwa Negara itu berasal dari akumulasi harapan – harapan rakyatnya
akan keadilan dan kesejahteraan.
3. Rakyat :
Apa
krisisnya ?, GAK KALAH BANYAKnya !! tapi satu yang kita ambil yang penulis
ketahui paling melatar belakangi kecarut – marutan Rakyat itu sendiri adalah kedudukan
dan jabatan yang diraih dalam pemerintahan atau Non Pemerintah pada umumnya
tidak lagi dilakoni sebagai dinas (pelayanan), melainkan sebagai prestise dan
sumber penghasilan individual. Buktinya, rasa tanggung jawab oknum pemerintah
ttau non Pemerintah etrhadap kemajuan Bangsa masih dangkal.
Dan apa yang harus kita lakukan ?
Sebenarnya pertanyaan ini pantas
terjawab dengan dengan jawaban yang juga menjadi pertanyaan itu sendiri, ada
dua “jawaban” dalam menanggapi Krisis di Tiga Pilar tersebut, diantaranya
adalah:
1. Mampukan
Pendidikan di Jurusan tercinta kita ini mendidik kemudian melahirkan Pustakawan
yang kelak juga menjadi seorang Negarawan atau Hartawan yang Dermawan atau
Kunci Sosial bagi lingkungan sekitarnya ?. jika yakin sanggup, maka ini adalah
Proyek Hutan Jati !! butuh proses se-abad (mungkin), dan kalau memang TERGARAP,
maka saya persilahkan bagi pembaca untuk membaca buku “Dari Gerakan Ke Negara”
karangan M. Anis Matta. Insyaallah Pas “resepnya” !!
2. Namun
jika memang Pendidikan kita ini belum menyanggupinya, lantas yang perlu kita
lakukan adalah:
a. Perkuat
Soliditas antar Calon atau Pustakawan dan Organisasinya, masih ingat kan Fatwa
Ali bin Abi Thalib: “Kebaikan yang tidak diorganisir akan dengan mudah
dihancurkan oleh kejahatan yang diorganisir.” Kita tahu Pustakawan kita
orangnya pintar dalam ilmu, tetapi tidak pintar dalam bersatu. Itu saja.
b. “mencuci
otak” atau merayu orang – orang yang berada di Tiga Pilar tersebut bahwa
Perpustakaan itu gak kalah “seksi” sama Gedung Parlemen atau Masjid atau
Lembaga Pendidikan (Perluas Pergaulan), sejahat apapun orangnya, kalau kita
mendekatinya dengan hati – hati atau sabar dan tulus, maka Insyaallah rencana
kita dimudahkannya. Sekarang saya tanya, sudah berapa banyak dan baik hubungan
pembaca dengan orang yang aktif dalam Organisasi Politik – Bisnis – dan Sosial
?
“Saat kita
gagal menemukan Medan Tempur yang berat, maka saat itu pula kita gagal
menemukan semangat dan tekad juang yang kuat.”
* * * *
BAB III
KESIMPULAN
Selesai kita membahas ini, kita
semestinya teringat secara mendalam akan sebuah ungkapan klasik warisan nenek
moyang kita dahulu, dimana “Pelaut yang
ulung tidak akan lahir dari ombak yang sejengkal”, begitu juga halnya
dengan seorang Pustakawan, “Pustakawan
yang ulung tidak akan lahir dari permasalahan yang hanya terbentang antara
selembar atau dua lembar kertas saja”. Jadi jangan sampai ada “orang lain”
yang mengatakan pada kita, “bukankah
dahulu nenek moyag kalian dikenal sebagai penakluk gunungan ombak kehidupan ?
lalu kenapa kalian saat ini tidak mewarisinya sedikitpun ?.
Selesai kita membahas ini, kita
tentunya paham secara baik dan benar, bahwa Pintu menuju Medan Tempur yang
sengit itu kini telah terbuka lebar, dan agar langkah kaki kita berani
melangkah kedepan, maka kita tidak lagi perlu membawa “mainan – mainan” atau “cemilan”
dari akademis yang biasa kita taruh di “kantong baju” kita sebelumnya, kita
butuh perbekalan yang pantas, sebuah ketepatan kinerja, sebuah kerendahan hati,
sebuah ketulusan jiwa, sebuah kemantapan mental, sebuah ketinggian alam fikir,
sebuah ketenangan respons, sebuah kelenturan kontribusi, sebuah kepatuhan
kolektif, sebuah kebahagiaan juang, dst.
Dan merupakan sebuah kehormatan
bagi penulis sekiranya pembaca mengoreksi rangkaian keterangan yang tersaji ini
secara lebih objektif – ilmiah.
Demikian yang dapat penulis
sharingkan, semoga apa yang terbahas disini dapat menambah imajinasi kecerdasan
kita untuk tidak lagi berbuat atau berkarya layaknya orang rata – rata, Bangsa
ini membutuhkan orang yang berpikir dan berbuat diatas standard. Itu saja
Terimakasih
Salam Kecerdasan Sosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar