Selasa, 12 Maret 2013
Pak Blasius dan Perpus
PAK BLASIUS DAN PERPUS
Bismillah,,
Sebelumnya saya meminta maaf, kalau
– kalau tulisan ini tidak membuat pembaca merasa mudah dalam memahaminya,
tentulah bukan karena kesengajaan, tetapi sudah merupakan sebuah kelemahan
pribadi yang Insyaallah tidak mengurangi pembahasan vital kali ini. Dan
merupakan sebuah kehormatan bagi saya pabila pembaca mengirimkan sebuah
masukan/ kritikan/ atau hal yang sejenisnya. Demikian, selamat membaca.
Mengenai hasil Kuliah Umum dengan
Judul Perpustakaan Untuk Rakyat, yang juga dihadiri oleh seorang Pustakawan
ternama, Bapak Blasius (11/03/2013) di theatrikal Perpus UIN SUKA, terus
terang, sampai teks ini pun saya belum mendapatkan titik kepastian, apa yang harus saya lakukan setelahnya ?, apa saya
harus mengkritisi atau menambahi atau kalau perlu menafsiri ? entah, mungkin kalau
anda bertanya tentang mengapa saya
serasa belum memiliki titik kepastian tersebut ? tentu tidak ada jawaban yang
terlalu spesifik tentangnya, namun ada beberapa pertanyaan sekaligus menjelma
dalam teriakan batin sosial yang selama ini (mungkin) hanya didengar oleh segelintir
orang dan kini teriakan batin sosial tersebut mencoba keluar, kemudian menyapa
“telinga” yang belum pernah dia temui atau pahami sebelumnya, Pustakawan dan
Generasinya, antara lain :
1. Bagaimana
konsep diri seorang Pusakawan terbentuk ?, apa perlu dikatakan bahwa jawaban
ini juga harus disesuaikan dengan: 1). Ruang dan waktu ? dan 2). Trouble dan
challange nya ?. jika iya, tentu akan memerlukan “Kiblat” baginya, lalu dimana & seperti apakah gambaran “Kiblat” tersebut ?
2. Apa
"Amalan ter-Unggul atau Karya terbesar dalam hidup seorang Pustakawan ?
Yang akan Pustakawan persembahkan bagi Tuhan, umat manusia dan alam sekitar
secara garis besarnya ?
3. Seberapa
pantaskah seorang Pustakawan menjadi “big brother” bagi profesi lainnya ?
terutama dalam menyelesaikan berbagai macam spesies permasalahan besar bagi
Bangsanya sendiri, terlebih Dunia ?
4. Pada
saat seorang Pustakawan telah mencapai kesempurnaan/pemaksimalan pribadi dan
sosialnya, maka hanya ada satu hal lagi yang ia perlu tanyakan, yakni dengan
cara apa sehingga ia dapat bertahan selama keadaan itu sampai akhir hayat ?1
* * * * * * * *
*
Tidak seperti biasanya, kali ini,
setelah empat pertanyaan ter-potret secara jelas, seolah ke-alami-an tumbuh dan
membuahkan empat bingkis keyakinan tulus penulis pada seorang Pustakawan dan
Generasinya, empat keyakinan tersebut adalah :
1. Penulis
yakin, empat pertanyaan diatas dapat menjadi sahabat sejati instropeksi diri
seorang Pustakawan.
2. Penulis
yakin, empat pertanyaan diatas dapat menjadi “ilham” dasar dalam menyusun
puzzle ke-profesiannya yang sebetulnya masih terserak.
3. Penulis
yakin, empat pertanyaan diatas adalah empat pertanyaan yang memang pantas untuk
dijadikan duta besar pertama dalam lingkup filosofis ke-Pustakawanannya kelak.
4. Penulis
yakin, empat pertanyaan diatas tidak menjadikan diri seorang Pustakawan merasa
lebih kerdil daripada pertanyaan itu sendiri. Setidaknya, dengan bertamunya empat
pertanyaan tersebut, maka diharapkan seorang pustakawan dapat lebih siap/
mantap untuk bersegera sadar – bangun – berlari dan mengejar ketertinggalan kontribusi dari
“orang lain”, hingga “orang lain” itu juga merasa senang, bahwa ternyata ada
“orang selainnya” yang juga turut melakukan hal yang terbaik bagi perbaikan
kehidupan sosial.
Huft,, oke, walau pada waktu kuliah
umum tubuh saya tidak berada dalam ruangan, namun semaksimal mungkin saya akan
memberikan yang terbaik dari apa yang kemarin berhasil saya rekam melalui HP,
entah itu ide berupa penambahan – pengkritikan – atau penfsiran. Oh iya, disini
saya akan membahas per-point dari apa yang sudah pelajari direkaman tersebut.
Diantaranya :
1. Konten
besar daripada kuliah umum ini adalah “Perpustakaan Untuk Rakyat”, yang
terinspirasi oleh buku ‘Tahta Untuk Rakyat”. Secara pribadi saya bersyukur atas
pengadopsian “kata” yang ada dalam ranah (wilayah) sejarah – politik Indonesia
keranah Perpustakaan, dan secara pribadi juga saya menghimbau agar pembaca
tidak bersegera menyamakan “persepsi”, antara Rakyat bagi Tahta dan Rakyat bagi
Pustakawan. Tentulah terdapat jurang yang walaupun tudak begitu dalam dan luas
namun perlu kita jembatani, yakni posisi Rakyat bagi Tahta adalah orang biasa
yang harus dilayani atau dalam arti lainnya Rakyat adalah bawahan2,
dari sini kita dapat memiliki selintas gambaran, bahwa Tahta berposisi diatas
Rakyat. Saya bertanya kepada pembaca, layak kah hal ini ditarik keranah
Perpustakaan ? saya yakin, tidak semua rakyat bodoh atau tidak maniak
informasi.
2. Pak
Blasius mengatakan: “Pustakawan jarang
menulis, banyak pustakawan senior yang juga menolak menulis, begitu juga dengan
mahasiswa IPI”. à kalau saya sinonim-kan, menulis =
B.A.B. artinya, Pak Blasius hanya merekomendasikan peserta hanya untuk “B.A.B”
tanpa memikirkan “makanan” yang seharusnya dimakan dan “proses Pencernaan” yang
semestinya terjadi, sehingga “B.A.B” yang dihasilkan High – Quality atau gak “mencret”. Selain itu juga, Pak Blasius
juga meng-klaim banyak Pustakawan yang gak mau”B.A.B”, sebenarnya setiap
manusia bisa “B.A.B”, hanya saja tergantung kita memandang hal tersebut, apa
secara sepotong – sepotong atau Utuh ? kalau sepotong – potong ya otomatis kita
hanya Cuma tahu si pelaku gak mau “B.A.B”, tetapi kalau kita mengetahui secara
utuh objeknya, tentunya kita gak sembarangan atau malah secara bijak mengetahui
“asbabunnuzul” kenapa si objek gak mau “B.A.B”. ini PR pertama kita ?
3. Pak
Blasius berkata : “persepsi setiap
generasi IPI tentang Perpus itu berbeda-beda, kita harus mencetak
manusia-manusia IPI yang hebat-pekerja-mengajar, terutama yang masih muda, karena
tafsir masa depan Perpus nantinya akan berbeda”. Dari apa yang telah
saya garis bawahi, tanggapan saya mengena asumsi yang satu ini terbagi atas
beberapa bagian, antara lain :
a. “persepsi”,
memang setiap individu atau suatu golongan memiliki “asumsi” yang berbeda –
beda, bahkan tidak jarang kalau sebenarnya mereka hidup menurut asumsi masing –
masing.
b. “berbeda
– beda”, kita tentunya sudah paham, perbedaan merupakan sebuah rahmat dari-NYA,
tetapi itu hanya diperbolehkan dalam alam pikiran, bukan alam perjuangan. Ingat
semboyan Bangsa “Berbeda – beda tetap
satu jua”
c. “kita harus mencetak manusia – manusia IPI
yang hebat – pekerja – mengajar...”, terkait hal ini, saya sebenarnya
sangat menyayangkan, karena disini kita hanya mengharapkan sebuah “kondisi ideal”, kita harus sadar penuh,
bahwa Kafilah Pustakawan adalah kafilah yang masih sakit, kita butuh langkah
realistis, yakni sebuah langkah dimana kita dapat berpikir untuk menciptakan “kondisi efektif”, adapun syarat – syarat
yang harus kita punya agar memiliki “kondisi
efektif” tersebut: 1). Ikatan keyakinan dan semangat kebersamaan juang,
bukan kepentingan 2). Jamaah itu sarana, bukan tujuan 3). Aktor terdepannya
adalah Sistem, bukan tokoh 4). Pe-metamorfosisan kader, bukan pemanfaatan 5).
Mengelola perbedaan, bukan mematikannya2.
Lagi – lagi ini PR buat kita.
d. “...karena tafsir masa depan Perpus nantinya
akan berbeda...”. saya menyarankan kepada para pembaca tulisan
ini untuk tidak mentah – mentah menelan pernyataan tersebut, saya khawatir,
dengan pernyataan tersebut kita justru dengan mudahnya membuang “narasi”
perpustakaan yang pernah ada sebelumnya, ibarat dalam hal “mesin sosial”,
barang lama akan tersingkir dengan barang baru. Ini tidak melulu berlaku dalam
seluruh ruang dan waktu. Kita tahu, setelah lampu berhasil ditemukan orang –
orang mengatakan kita takkan lagi memerlukan lilin, tapi ternyata lihat
hasilnya sekarang ? terlebih. Sesuatu yang “antik” terkadang lebih berharga
daripada barang ter-update sekalipun. Memang betul kalaulah Perpustakaan adalah
organisasi berkembang, karena target, pencapaian hasil, kebutuhan dan fungsi
perpus sendirinya akan ikut berkembang, jadi sebenarnya tidak salah jika
nantinya akan terjadi perkembangan “tafsir”, namun tak baik juga bagi kita
untuk serta merta membuang “narasi” atau sejarah “tafsir perpus” itu sendiri.
Apapun itu, akan menjadi sesuatu yang banget kalaulah paham akar sejarahnya.
4. Mr.
Blasius say : “...Pustakawan itu
ekuivalen dengan budayawan atau orang yang berpengatahuan...”. saya yakin,
ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita setidaknya paham kalau
Pustakawan itu sendiri belum memiliki “sejarah” yang kuat dan utuh dimana
“orang lain” dapat merasakan dan mengambil pelajaran tentang hal – hal besar
apa saja yang sudah pustakawan lakukan dulunya. Sekali lagi lagi, kita belum
memiliki “sejarah” kontribusi yang sepadan dengan “orang lain” tersebut.
5. Mr.
Blasius say : “...sekolah-sekolah
perpustakaan itu salah satu solusi besar dalam menciptakan generasi
berpengatahuan...”. kalau kita telusur secara sederhana, maka “goal” dari
pustakawa dan perpus itu sendiri berupa “kecerdasan sosial”, ini tidak salah,
hanya saja kita harus berani memperbaikinya agar “goal” tersebut terlihat utuh.
Begini, karena sila pertama kita Ketuhanan Yang Maha Esa, maka “kecerdasan
sosial” itu bukan sebuah tujuan, tetapi alat agar rakyat lebih dekat pada
hidayah-NYA. Kalau tujuannya hanya mencerdaskan kehidupan sosial, maka apa
bedanya kita sama jepang yang masyarakatnya cerdas – cerdas tetapi banyak kasus
bunuh diri, atau apa bedanya kita sama amerika yang masyarakatnya juga cerdas
tetapi tingkat kekerasan, pembunuhan, dlsb belum tertangani secara maksimal3.
Cerdas adalah salah satu alat yang harus pustakawan berikan agar masyarakat
lebih dekat pada hidayah-NYA. Nambah deh PR kita
6. Mr.
Blasius principle : (yang digaris bawahi adalah tambahan dari saya)
a. Pustakawan
harus diajar berpikir kritis – namun tidak sinis
b. Gemar
Membaca, tidak hanya teks – tetapi juga dilanjutkan dengan gemar memahami –
mengajari. (baca Piramida Pembaca)
c. Menulis
(Dihargai secara Karya)
d. Kemampuan
Enterprenuer (dhargai secara Finansial)
e.
Etika (dihargai secara layanan)
Saya kira ini cukup mewakili apa –
apa yang menjadi bahan perenungan “implisit” bagi Pustakawan sekarang dan esok,
walau saya sendiri memiliki keyakinan yang tipis kalau pembaca membutuhkan
upaya keras dan cerdas dalam memahami teks ini secara utuh.
Sumber inspirasi :
1.
Diambil dari Buku “Delapan Mata Air
Kecemerlangan”: Anis Matta
2.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.2
3.
Diambil dari Buku "Dari Gerakan ke
Negara": Anis Matta
4.
Diambil dari Taujih Ust Hilmi Aminuddin
yang berjudul “Keterpaduan Langkah Dakwah”. Sumber : http://www.al-intima.com/taujih-hilmi-aminuddin/jangan-lupakan-target-akhir-dakwah-kita
Bekerja keras tentulah lain dengan bekerja cerdas,
hidup penuh semangat tentulah berbeda dengan hidup penuh semangat + strategi, dua
hal yang dapat dikuasai seorang Pustakawan, pikirannya dan apa yang
dilakukannya.
Terimakasih
Pak Blasius dan Perpus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar