Social Icons

a

Minggu, 09 Februari 2014

Menjenguk Duka



MENJENGUK DUKA



Diriku belumlah mapan secara ekonomi, belum juga memiliki kematangan ilmu yang utuh, lantas untuk menghilangkan kepenatan atas dua hal tadi saya berusaha mencintai manusia – bahkan manusia yang memusuhi atau menjelekkan saya sekalipun, dan apalah jua ? mereka tidak mendalami sorot mataku, mereka lebih berminat dengan ilusi tata kehidupan dan ... rasanya aku sudah meresakan apa yang Iqbal rasakan, sampai ia sendiri mengatakan: “Aku tak hajat pada telinga zaman sekarang”, menyerahkah dia ? kalahkan dia ? apapun jawabannya, saya hanya mau mendengar langsung dari-NYA kelak – meski lebih membutuhkan kesabaran.

Oh sobat ... ada apa dengan kalian ? seolah kalian tak lagi membutuhkan cinta, seolah kalian tak lagi membutuhkan semburat wahyu. Lantas apakah karna kalian menjadi korban atas semua kejadian ? atau yang ada disekitar dan pernah kalian alami ?, lalu kalian membalikkan badan dan menjauh seribu langkah dari kita yang semestinya.

Oh guru ... lihatlah perbuatan semua muridmu ini, betapa gontainya tata kehidupan kami ini, kami perlahan lemah, namun kami tidak memiliki resah atasnya, kami perlahan lumpuh namun juga kami tidak mau sembuh darinya, kami perlahan terbenam namun juga kami tidak sungkan untuk tenggalam darinya. Guru ... kami sudah tidak lagi memiliki malu, malu pada-NYA dan malu kepada para kekasih-NYA. 

Oh cita-citaku tersayang ... dimana & kapan engkau akan menemukan seorang Negarawan yang kelak mengajarimu sampai engkau punah dengan tenang ?, semua citaku telah mampu kau sembelih dariku, bahkan engkau juga telah berhasil menyembelih beberapa cita milik orang lain, ini kah hukumanmu ? sehingga dirimu sulit – bahkan dunia menjadi pelit untuk memberikanmu guru padamu. Lihatlah teman cita yang kau anggap sebagai partner hidup, mereka menjadikan dirinya pahlawan kesiangan, menjadikan jiwanya tolol hanya karna tak tahan oleh kecantikan juliet, menjadikan jiwanya ... ah sudahlah !!

Kutemukan orang yang terlalu tak tahu diri, betapa susah bagi mereka menerawang masa kininya – apalagi masa depannya, 

Rabbi,, curahkanlah cinta yang ENGKAU titipkan pada orang – orang sepertiku ini hanya kepada orang yang berhak menerimanya, bukan kepada orang yang sudah mendapatkannya kemudian dibuangnya jauh – jauh, dan bukan juga kepada orang yang menjualnya dengan harga murahan – bahkan lebih murahan daripada kulit kacang.

Rabbi ... begitu khawatirnya hamba-MU ini, khawatir atas apa – apa yang sudah terilhamkan namun tak kunjung menjadi kenyataan, betapa banyaknya senandung harap yang telah ‘ku dendangkan pada-MU, terlalu banyak mereka menjadikan dirinya menurut apa yang mereka mau saja tanpa sedkitpun menaruh hormat pada sistem perdamaian-MU. Entahlah, bagiku suara mereka adalah jeritan mereka, langkah mereka adalah keterseokan mereka, canda mereka adalah tangis mereka, hiburan bagi mereka adalah siksaan bagi mereka, obat yang mereka anggap adalah racun bagi mereka sendiri, sahabat atau kekasih yang mereka pilih pun sebenarnya adalah musuh sejati mereka, apa yang mereka pertahankan sebenarnya adalah apa yang mereka buang sehina – dinanya, apa yang mereka anggap dekat sebenarnya jauh bagi mereka, pahlawan yang mereka agungkan hanyalah pecundang yang tidak mereka sedari, penjila mereka anggap orang baik dan patut dicontoh bagi khalayak.

Dunia – oh dunia ... belumlah kutemukan diatas punggungmu ini orang yang kuat lagi hebat dalam benderang perang alam pemikiran dan persekutuan saat ini, masihkah dia didalam rahimmu ? atau bolehkah kutahu alasanmu mengama belum melahirkannya ? atau mungkin kau tidak rela membiarkannya lahir kemudian disusui dan diasuh oleh massal yang keji pada dirinya.

Nafasku kini semakin sesak karna cinta yang bertubi – tubi tertolak oleh khalayak, yang didengar oleh mereka adalah orang yang tidak memiliki cinta, yang dipriorotaskan oleh mereka adalah hal – hal yang mengkerdilkan mereka, yang mereka panuti adalah ketotolan pikiran dari masing – masing mereka. Rasanya, lebih baik berteman dengan bayi atau semacamnya, karna mereka tidak bertopeng – mereka tidak berdiri diatas kepalsuan dan kebodohan yang sengaja dipilihnya. Rabbi ... jika memang anak – anak kecil itu jauh lebih berguna dalam memperbaiki alam ini, maka izinkanlah mereka mendekatiku – supaya keberdayaan juangku kembali terbit dari ufuk iman yang gelap berabad lamanya.

Kepada kalian yang terkena imbas atas kepalsuan makna dinamika, kumohon berilah maaf atas perlakuan cintaku ini, berilah maaf pada cintaku ini, meski sekuntum meski itu berduri aku tetap menerimanya dengan senang hati.


Dan kepada Hidupku,

Tetaplah Hidup !! Hiduplah diatas mayat – mayat kehidupan yang semakin membusuk & membelatung itu.



Terimakasih                                                                                                                 Menjenguk Duka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar