Jumat, 31 Mei 2013
Risalah Fikr
RISALAH
FIKIR
Pabila
ada Adik Kecil datang dan berbicra lantang ataupun pelan dihadapanku: “Wahai
Pelayan Umat!! Adillah pada siapapun – dimanapun – dan kapanpun”, maka aku akan
mendengarkannya dengan cara terbaik yang kubisa, dan aku sadar,, bahwa sang
Adik itulah yang kelak menjadi Pemimpin bagi Bangsa ini.
Pabila
ada Ibu atau Bapak Tua datang dan berbicara terbata ataupun tersekat
dihadapanku: “Wahai Pelayan Umat!! Berlaku kasih dan sayanglah pada orang –
orang renta seperti kami ini dimanapun – dan kapanpun”, maka aku akan mencambuk
diri ini untuk sesegera mungkin melaksanakannya, sebaik dan seindah yang
kubisa, dan aku sadar,, bahwa Orang Tua seperti itu sebenarnya adalah Orang Tua
yang menjadi Ayah dan Ibu bagi anak – anak Negeri.
Pabila
ada seorang Muda menghampiri dan berada disisi kanan atau kiri ‘ku, kemudian
sang Muda itu bertutur santun lagi rendah hati kepadaku: “Wahai Pelayan Umat!!
Jadilah mata – telinga orang yang sedang kau layani, supaya dirimu mengetahui
dan memahami secara baik dan benar apa – apa yang sedang dibutuhkan orang yang sedang kau layani, lalu jadikan
dirimu seolah pikiran dan perasaan orang – orang yang kau layani, agar kau
mengetahui dan memahami dengan betul apa – apa yang sedang mereka pikirkan dan
rasakan saat ini. Dan terakhir jadikan pula dirimu bak perut – kaki – tangan
mereka, agar kau juga dapat merasakan secara pasti apa – apa yang membuat
mereka lapar dan lelah tanpa daya.
Mungkin
terasa so Sweat !!
Pabila
seekor nyamuk hinggap, lalu menusukkan moncongnya kekulitku untuk mengais
kebutuhan hidup atas darahku, maka seolah ia menegurku dengan cara sederhana,
bahwasanya kenyataan hidup alam kebinatangan di Negeri ini teramat nestapa,
tidak diperlakukan sebagaimana fitrahnya, dan manusia terlalu rakus dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga Kenyataan hidup Alam kebinatangan menjadi
begitu tidak seimbang lagi. begitu pula
lalat yang hinggap atau berterbangan disekitar lauk – paukku, seolah mereka
memarahiku kalau – kalau manusia di Negeri ini terlalu banyak yang memikirkan
perutnya daripada perut alam sekitarnya.
Pabila
kudengar hempasan ombak laut secara seksama, maka yang terngiang dalam alam
fikirku adalah: “Sang laut sedang berbincang padaku!!”, seolah sang laut sudah
tidak lagi sanggup menahan rasa asinnya yang palsu, palsu karena asin air
matanya, bukan kerana asin air atau sifatnya. Sang laut menyuruhku mendengar
keluhnya: “Lihatlah keonaran yang telah kalian hadiahkan padaku dan saudara –
saudaraku lainnya yang berada diatas
tanah, seperti wilayah puncak, gunung, dlsb telah kalian injak – injak dan telah
kalian pantati kami pula dengan nafsu sempit kesenangan kalian ??.
------------------------------------------------------------ Rakyatku Tuanku –
Alamku Kekasihku
Terimakasih Risalah
Fikir
Senin, 27 Mei 2013
Loe Bukan Mahasiswa
LOE
BUKAN MAHASISWA
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau Cuma jago
diskusi. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau janjian waktunya molor. Jangan
ngaku Mahasiswa didepan W kalau barang pinjaman gak dibalikin atau gak keurus.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih nyontek tugas atau titip absen.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau agenda ke-organisasian masih nyebar
proposal. Janga ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih ngerokok atau kencing
sembarangan. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau kerjanya Cuma nuntut orang
lain. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau lebih jago berseteru daripada
bersatu. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau markir kendaraan gak rapi.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau gak jago ngoreksi diri sendiri. Jangan ngaku
Mahasiswa didepan W kalau kuliah Cuma ngejar IPK – apalagi Cuma jadi penjilat
Dosen. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau naro sandal atau sepatu aja gak
rapi. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau gak suka baca buku atau keperpus.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau penampilan fisik masih dikedepankan.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau hidup Cuma berdasarkan “katanya” dan
“kayaknya”. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau gak suka dikoreksi atau
dinasehati. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau tidur sehari lebih dari 8
jam. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau penampilan masih “semau Gue”.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau prestasi hanya untuk diri sendiri.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau Cuma memamerin uang jajan dari Orang
Tua. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau bisanya Cuma ngomongin kejelekan
orang lain. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau kuliah bolong-bolong gak
jelas. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau mutung gak kuliah Cuma gara –
gara dosennya gak sesuai selera. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih
doyannya ke bioskop. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau presentasi masih baca
teks. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau gak berani mengakui kesalahan atau
kekurangan pribadi. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau gak mau ngakuin
kelebihan atau kebenaran dari orang lain. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W
kalau uang tabungan masih segepok ditengah krisis keuangan rekan seperjuangan.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih susah sadar diri. Jangan ngaku
Mahasiswa didepan W kalau dalam hal keuangan aja masih boros. Jangan ngaku
Mahasiswa didepan W kalau masih cepet mutung gara-gara sms gak dibalas atau
lama dibalas. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau utang lupa dibayar atau
gak dibayar. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau Cuma jadi penonton. Jangan
ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih ngandelin Babe. Jangan ngaku Mahasiswa
didepan W kalau masih mau menang sendiri. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W
kalau masih sok sibuk. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau nulis status
masih yang lebay – lebay. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih suka
main otot. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau gak patuh sama aturan
lalulintas. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih nunda – nunda
pekerjaan. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau nama akun masih alay. Jangan
ngaku Mahasiswa didepan W kalau musiknya masih yang gak berkualitas bagi
perkembangan karakter. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih males
ngurus kebutuhan Ukhrawi. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau bacaannya Cuma
novel melankolis. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau gak punya cita – cita
Objektif. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau gak tahu tentang arah atau
tujuan hidup. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih gampang nyerah.
Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau hidup masih “terserah maunya Gue”. Jangan
ngaku Mahasiswa didepan W kalau belum tahu SIAPA PAHLAWAN HIDUP Loe yang
sebenarnya. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau masih belum tahu SIAPA MUSUH
HIDUP Loe yang sebenarnya. Jangan ngaku Mahasiswa didepan W kalau belum tahu
SIAPA SAHABAT HIDUP Loe yang sebenarnya. Jangan ngaku Mahasiswa didepa W kalau
belum tahu SIAPA PEMIMPIN HIDUP Loe yang sebenarnya. Jangan ngaku Mahasiswa
didepan W kalau BELUM TAHU SIAPA DIRI Loe yang sebenarnya... (silahkan
dilanjutkan)
Terimakasih
Loe Bukan Mahasiswa
Rotasi Iman
ROTASI
IMAN
Kembali
terpikir,
Kembali
tersingkir,
Kembali
hadapi,
Kembali
hindari,
Kembali
hilang,
Kembali
datang,
Kembali
sosial,
Kembali
individual,
Kembali
cepat,
Kembali
lambat,
Kembali
puitis,
Kembali
bengis,
Kembali
objektif,
Kembali
subjektif,
Kembali
ikhlas,
Kembali
balas,
Kembali
analitis,
Kembali
intuitis,
Kembali
metodis,
Kembali
praktis,
Kembali
sistematis,
Kembali
sporadis
Terimakasih Rotasi
Iman
Pustakawan dan Iqra
PUSTAKAWAN
DAN ‘IQRA
‘Iqra ?, selama dan sejauh ini saya menangkap,
bahwa masih terlalu standard bagi kita, khususnya seorang yang menjadi calon maupun yang kini telah menjadi Pustakawan – untuk
memberikan arti bagi kata ‘Iqra. Terlalu banyak diantara kita untuk mengartikan
secara Final apa itu ‘Iqra, sehingga kita mentok pada kata BACALAH !! – tanpa
perlu mengembangkannya lebih luas, padahal kalaulah ditelisik lebih menjauh dan
objektif, maka kita dapat mengupasnya menjadi beberapa point emas dan itu
Insyaallah sangat Signifikan dalam memicu Adrenalin Kedewasaan kita sebagai
Pustakawan dalam membangun Alam Fikir ke-Informasi-an ini. Pada dasarnya, Iqra mengandung arti menghimpun {informasi, data, pengetahuan, dan wawasan}, meneliti, memahami, menganalisis, membaca, dan memaknai, maka dari pengertian dasarnya itu pula saya sedikit menafsirkannya sebagaimana beberapa point dibawah ini, diantaranya :
1. ‘Iqra
= Menancapkan pandangan hidup terhadap apa yang dibaca
Kalaulah kita ingin melihat tauladan dari orang yang mengamalkan hal ini, maka kita sudah mengenalnya, orang itu
adalah Bung Karno, sampai – sampai Beliau mengisyaratkan hal ini dengan kata –
katanya: “Buku-buku menjadi temanku.
Seluruh waktu kupergunakan untuk membaca. Sementara yang lain bermain-main, aku
belajar. Secara mental aku berbicara dengan Thomas Jefferson, George
Washington, Paul Revere, Abraham Lincoln. Aku ingin berlomba dengan
pahlawan-pahlawan Amerika tersebut” (Soekarno: Soekarno Penyambung Lidah
Rakyat: hlm 32)
2. ‘Iqra
= Memiliki dua ruang lingkup, antara lain:
a.
Ruang lingkup Biologis, seperti Mata dan
telinga (Wilayah Kulit)
b.
Ruang lingkup Ruhanis, seperti Hati dan
pikiran (Wilayah Isi)
Kedua
point ini tidak dapat dipisahkan, karena sifat dari keduanya saling melengkapi,
dan kita tidak terlalu mempersoalkan bagaimana cara kita menggabungkan antara
keduanya karna saya yakin pembaca memiliki kecerdasan berpikir lebih daripada
saya, Contoh dari hal inipun masih dapat kita temukan pada cara Bung Karno
dalam merenungkan Bahan Bacaannya, Beliau berkata: “... didalam dunia pemikiranku akupun berbicara dengan Gladstone dari
Britania, ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan gagasan
buruh Inggris aku berhadapn dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari
Italia. Aku berhadapan dengan Otto Bauer dan Adler dari Austria. Aku berhadapan
dengan Karl Marx, Fredrich Engels dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol
dengan Jacques Rousseau' Artistide Briand' dan Jean Jaures ahli pidato tebesar
dalam sejarah Francis. aku meneguk semua cerita ini” (Soekarno: Soekarno
Penyambung Lidah Rakyat: hlm 32)
3. ‘Iqra
= Memiliki skala pembelajaran yang universal, artinya objek yang kita ‘Iqra kan
bermacam – macam, seperti:
a.
Kenyataan Hidup Alam (Hikmah atau pelajaran
atas wujud & sifat Alam; hewan, kendaraan, tumbuhan, gelas, gunung, air,
bintang, dlsb)
b.
Kenyataan Hidup Manusia sebagai Buku
yang Berjalan, baik personal maupun komunal, karna Gelar Muhammad SAW selain
al-Amin juga sebagai “al-Qur’an yang
Berjalan”, dan kita sebagai Umat Beliau SAW harus meneladaninya dengan
menjadikan pribadi sebagai “Kitab yang Berjalan”, sebuah Kitab (pribadi) yang
penuh makna dan nilai sehingga banyak orang yang bahagia pabila “membaca” kita.
c.
Kenyataan Hidup Sebab – akibat
(Peristiwa – peristiwa Bumi yang digerakkan oleh manusia itu sendiri + akibat
yang ditimbulkannya), perlulah bagi kita sesekali atau kalau bisa se-sering kali
mempertanyakan dan mendiskusikan pada diri, “Akan dibawa kemanakah zaman ini
oleh Peristiwa – peristiwa yang tengah terjadi ?
4. ‘Iqra
= Karna kita hidup di Era Informasi, maka ‘Iqra memiliki sinonim makna berupa Perintah
Tegas dari-NYA yang memiliki ragam bunyi:
a.
“Jadilah
Umat yang Informatif”, kita tentunya tidak mencukupkan diri pada hal yang
bersifat Informatif saja, tetapi juga perlu ditambahkan sebuah “anak” dari
‘Iqra yang menjadi “Ibu” dalam “Kata” , yakni Informatif – Objektif – Positif
(hal yang Negatif secukupnya).
b.
“Jadilah
Umat Pembelajar”, artinya kita SANGAT DIREKOMENDASIKAN oleh-NYA untuk
menjadi Umat yang mempelajari – apapun itu – dimanapun – kapanpun – oleh
siapapun – dan jangan pernah berhenti mempelajarinya demi kemaslahatan Umat
Manusia, termasuk mempelajari hal terkecil atau yang biasa kita anggap sepele.
So ? hanya itu yang saya pahami dan yang dapat saya
share ke pembaca, mudah – mudahan teks ini memberi Inspirasi bagi Kedewasaan
Alam Fikir kita, khususnya Pustakawan, dalam menyelami kedalaman sebuah “Kata”,
karna sebaik – baik sebuah “Kata” adalah “Kata” yang memiliki Makna. Terlebih, kata Iqra (membaca) ini adalah kata perintah PERTAMA didalam kitab Suci al-Qur'an dan Hanya Islam satu-satunya Agama di Dunia ini yang perintah pertamanya adalah MEMBACA (Q.S al-Alaq[96]:1) ^_^
Terimakasih Pustakawan
Dan’Iqra
Bilal Society
BILAL SOCIETY
Masih ingat dengan kisah Bilal, sahabat Rasulullah
SAW yang disiksa sedemikian pedihnya ? namun
siksaan atas Sahabat tersebut justru mengangkat martabat dirinya, dan tidak
henti – hentinya Bilal mengucapkan: “Ahad
... Ahad!” ketika siksaan semakin menjadi – jadi. Kalau kita sedikit
renungkan, Ucapan Bilal adalah ucapan jiwa atau suara jiwa yang telah
terbebaskan dari belitan naluri, sesudah akidah menguasai dirinya. Dalam
kondisi ini. Bilal terbebaskan dari ikatan hukum alam yang secara fitri
terdapat pada dirinya, kemudian Bilal menundukkan eksistensinya secara total
dibawh tuntutan – tuntutan spiritual yang dibentuk oleh pemikiran keagamaan
dalam dirinya. Dalam kondisi yang baru ini Bilal menggunakan kehidupannya sejalan
dengan hukum – hukum spritual.
Berdasarkan proses kerja yang terkondisi tadi, bukanlah
berarti Bilal melenyapkan nalurinya, tetapi mengaturnya dalam hubungan
fungsional dengan tuntutan – tuntutan pemikiran keagamaan. Kehidupan hewani
yang diperlihatkan oleh naluri dalam bentuknya yang kasat mata, tidak dibarkan
begitu saja melainkan diatur dengan
kaidah – kaidah sistem tertentu, yakni Kekuatan Spiritual yang berbasis
ke-Ilahi-an.
Em ... sebenarnya berbagai hal “tadi” yang baru
terbahaskan gak hanya terjadi atau termanifestasi pada Bilal saja sebagai lingkup
personal, tetapi bisa juga terjadi dalam lingkup Masyarakat, khususnya
masyarakat yang penduduk mayoritasnya ber-KTP Islam sebagai Komunal, artinya,
kondisi antara Bilal (sebagai personal) dengan kondisi masyarakat sebagai
komunal) itu bisa saja terjadi persamaan.
Anggaplah sekarang ini Masyarakat kita sedang
dijajah atau disiksa oleh penjajah kelas kakap sehingga kita belum berdaya
melawannya (meski nyiksanya secara halus), dan kalaulah kita sebagai Masyarakat
(komunal) diatur oleh kaidah – kaidah sistem tertentu sebagaimana yang telah
dilakukan oleh atau dibuktikan dalam tekad Bilal – meskipun kita disiksa dengan
berbagai macam siksaan si penjajah – maka kita sebagai masyarakat juga sanggup
meneriakkan dengan lantang: “Ahad ...
Ahad!” sebagaimana yang telah Bilal lakukan.
So ?
Jika kita ingin menjadi masyarakat yang bermartabat
tinggi, dan menjadi masyarakat vital penopang Peradaban, ya mau nggak mau
(salah satu caranya) kita sebagai masyarakat harus memiliki mental spritual
layaknya Bilal, apapun jenis dan lamanya penindasan yang kita terima, baik yang
bersifat keras maupun lunak tetap kita teriak dan tekadkan: ”Ahad ... Ahad!”, biar kita punya luang
kehidupan yang jauh lebih lama – yang akan melahirkan dan membawa Tauladan Kehidupan
atau Nilai Heroisme kepada anak dan cucu kita nantinya.
_____
_____
Sumber Inspirasi:
Membangun Dunia Baru Islam; Malik Bin Nabi: Mizan; hlm 90; Cet I 2009
Terimakasih Bilal
Society
Minggu, 26 Mei 2013
Open Access Vs Copy Rights: Perseturuan ataukah Persekutuan
OPEN
ACCESS DAN COPY RIGHTS :
Perseturuan
ataukah Persekutuan
Open Access (M.
Solihn Arianto; 2011; hlm 263)
a. Prinsipnya:
-
Pendidikan
itu gratis kalau yang dicari ilmu, namun pendidikan itu menjadi mahal kalau
yang dicari adalah sertifikat, ijazah, dan akreditasi
-
... Semakin
banyak orang lain yang memperoleh manfaat dari Anda, semakin banyak rejeki dan
pahala yang anda dapatkan. (Onno W. Purbo)
b. Latar
belakangnya:
-
Perkembangan teknologi saat ini membawa
kemudahan serta mempengaruhi cara kerja dan pola hidup manusia mengenai
informasi.
-
Masyarakat sedang dalam masa transisi,
yakni dari masyarakat melek huruf menuju masyarakat melek informasi yang
membutuhkan ketersediaan informasi yang mudah diakses untuk memenuhi kebutuhan,
sedangkan beberapa pihak atau lembaga masih membatasi akses informasi dengan
dalih “untuk menjunjung tinggi hak cipta seseorang atau lembaga”
-
Dua keadaan paradoks, disatu pihak
kebutuhan informasi masyarakat terus mengalami peningkatan tetapi dipihak lain
masih membatasi ketersediaan informasi.
c. Tujuan:
-
Sebagai gerakan yang menginginkan adanya
kesetaraan dalam masyarakat untuk mengakses sumber – sumber informasi yang
berkualitas
-
Mengurangi bahkan menghiangkan
diskriminasi dalam akses sumber – sumber informasi.
Copy Rights (Risa Amrikasari; 20011; hlm 271)
a. Prinsipnya:
-
Menghargai Hak Milik Intelektual atau
Hak atas Kekayaan Intelektual baik secara moral maupun ekonomis.
b. Latar
Belakangnya:
-
Kesadaran bahwa hasil karya seseorang
bisa saja diduga atau dianggap sebagai hasil karya orang lain, jika tidak
dituliskan namanya sebagai penciptanya, atau
-
Sebuah kesadaran untuk melindungi apa
yang menjadi hak kekayaan intelektualnya, karena karyanga dilahirkan dengan
pengorbanan tenaga, waktu, bahkan biaya, oleh karenanya tentu saja hal tersebut
menjadikan karya yang dihasilkan memiliki nilai moral dan ekonomis
c. Tujuannya:
-
Mendidik masyarakat luas untuk peka
dalam hal menghargai Hak Milik Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual
Orang yang mencipta baik secara moral maupun ekonomis.
-
Meminimalisir ketidakjujuran Hak atas
Kekayaan Intelektual.
Sumber:
THE KEY WORD: Perpustakaan di Mata Masyarakat
*
* * * *
Kalau kita perhatikan dari kedua pembahasan tadi,
yakni antara Open Access dan Copy Rights, sebenarnya mengalami gesekan yang
tipis – atau malah sangat tipis, jadi kita tidak usah muluk – muluk membahas
tentang perseteruan antar keduanya, karna yang terpenting kita perhatikan
disini adalah subjeknya atau si pelaku yang dinilai merugikan. So ? ya
kita “sembuhkan” pelakunya secara baik – baik, dimana kita setidaknya melakukan
upaya penyadaran kepada si pelaku untuk menghormati HAKI orang lain (Open
Access) dan bagi si pencipta HAKI juga jangan terlalu “matre” dengan Kekayaan
Intelektual yang telah DIA titipkan padanya (Copy Rights). Minimal dimulai dari
diri sendiri à
famili à
komuniti à
Negeri. à
Pendidikan Kesadaran.
Kata Pak Edy A. Effendi: “Hidup itu harus sawang
sinawang. saling memandang”1, artinya bisa juga saling sadari diri –
agar saling menolong. Dan bukan sebuah keniscayaan bagi keduanya untuk saling
menang tanpa harus saling mengalahkan jika masing – masing pelaku memiliki
kesadaran kolektif bagi kemajuan yang
juga kolektif.
Saran:
1.
Open Access: kemudahan bukan berarti
mengenyampingkan pengorbanan atau perjuangan, kalau masyarakat hanya dijejali
dengan kemudahan tanpa adanya pengorbanan dan perjuangan, khawatir mental
ke-informasi-an masyarakat adalah mental “peminta” atau mental instant, artinya
gak Fighter atau kreatif.
2.
Copy Rights: kalaulah dalam hal keuangan
kita disunnahkan (sebenarnya wajib sih) untuk infak atau sedekah, begitu juga
dalam hal ke-ilmuwan, artinya segalanya harus kita sisihkan, satu sisi untuk
kepentingan atau kebutuhan personal dan satu sisi untuk kepentingan atau
kebutuhan komunal. Insyaallah Clear !! ^_^
____________
1
Effendi, Edy A. 2013. “Gaji Buruh Wartawan Tak Standard”. Melalui http://www.pkspiyungan.com.
Diakses pada Jumat 24 Mei 2013. Pukul 16.13 WIB
Jumat, 24 Mei 2013
Risalah Civitas
RISALAH
CIVITAS #1
Yth,
Kepada Dewan Civitas Tercinta ...
Satu pertanyaan dasar dari saya kepada kalian
adalah: “Kenyataan Pendidikan yang
seperti apakah yang kalian bina saat ini untuk kami ?”.
“... kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta
...”, (Iwan Fals: Bongkar !!)
saya yang masih al – fakir ini selalu merasa heran,
kenapa pendidikan kita hanya memberatkan pada satu dimensi kemanusiaan, yakni
akal (IQ), padahal kita sudah mewarisi banyak bunyi falsafah pendidikan dari
para pendahulu kita, dan salah satu bunyi yang termasyur adalah: “Belum !!
belum dikatakan selesai tugas seorang Guru pabila hanya mencerdaskan akal
seorang murid namun tidak mencerdaskan budinya” (R.A Kartini: Habis Gelap
Terbitlah Terang). Seingat saya, kalian adalah sekumpulan daripada orang –
orang dengan gelar keilmuan yang tak lagi diragukan kemampuannya, lalu mengapa
(sengaja atau tidak) Pendidikan di fakultas tercinta kita ini serasa kehilangan
cinta sejatinya – menjadikan pendidikan sebagai alat perlakuan bagi robot –
robot pendidikan (mahasiswa) !!. dan kalaulah saya diperkenankan mendapatkan
sebuah jawaban santun dari kalian, “sudahkah kalian mendefinisikan dengan baik
dan benar atas kami sebagai subjek pendidikan dan pendidikan itu sendiri
sebagai domain atas peradaban yang dicita – citakan ?” jika memang belum, aduhai
ironisnya pendidikan di fakultasku ini !! ??
“... kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta ...”,
(Iwan Fals: Bongkar !!)
Marilah kita tengok sebuah rangkaian keterangan
objektif dari seorang Ary Ginanjar, penulis buku ternama ESQ, dimana beliau
dengan sangat gamblangnya memberi suatu syarat atau konten kesuksesan atas
sebuah Negeri – Komuniti – Famili – Pribadi pendidikan, bahwa keseimbangan atas
kecerdasan ESQ merupakan harga mati bagi sebuah habitat pendidikan. Apakah kita
rela begitu saja mengenyampingkan Tiga Hal tadi hanya demi rasionalitas keterbatasan
SDM (apalagi uang) kita, padahal (kalau mau jujur) sebenarnya harta – tenaga –
dan jiwa dari masing-masing kita belumlah dikapitalisasi secara maksimal ?,
kita belum melakukan pengorbanan mati – matian atas keterpurukan ini !! ??
“... kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta
...”, (Iwan Fals: Bongkar !!)
Kalaulah kita belum pikun, bukankah Civitas Ini
digandengkan dengan kata “ISLAM” ? jika memang itu benar adanya, lalu mengapa
keterseok – seokan batin atau ruh dari pendidikan kita saat ini kita tanggapi
dengan tenang – tenang saja tanpa perlu ditanggapi secara serius dan duduk
bersama ?, saya tentunya sangat yakin, bahwasanya kalian memiliki kecerdasan
dalam memahami apa yang saya maksud sebagai batin atau ruh dari pendidikan kita
saat ini.Dan adalah hak bagi saya bertanya kepada kalian, “ISLAM” yang seperti
apakah yang kalian maksud dalam Civiatas ini ?, padahal tanpa kata “ISLAM” pun
pendidikan sekuler lainnya terbukti kuat mampu atau jauh lebih berdaya daripada
kita dalam melahirkan Insan – insan Peradaban Dunia saat ini maupun yang akan
datang ?
“... kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta
...”, (Iwan Fals: Bongkar !!)
Kita juga tentunya ingat akan falsafah kesuksesan
dalam hidup ini, dimana “ciri orang gagal adalah sibuk mencari banyak alasan
atas kegagalannya, sedangkan ciri orang sukses adalah sibuk mencari banyak
jawaban atas tantangannya”, begitu juga
dengan kita sebagai organisasi pendidikan, dimana ciri Civitas gagal adalah
mencari banyak alasan atas kegagalannya, sedangkan ciri civitas sukses adalah
sibuk mencari banyak jawaban atas tantangannya.” Atau kalau perlu kita tambah: Civitas
dengan kebiasaan atau kebudayaan baik saja masih harus berupaya keras untuk
sukses dan mempertahankannya, apalagi civitas yang memiliki kebiasaan atau
kebudayaan buruk ?, muka jelek malah cermin
yang dipecah, itulah istilah yang tidak kita harapkan menempel pada masing
– masing kita setelah mengenal falsafah tadi.
Satu pertanyaan yang mungkin menjadi permen enak
jika kalian mengunyahnya dengan baik dan benar: “Memangnya, sudah seberapa
pantaskah pribadi kalian menjadi dewan civitas di fakultas ini dan bagi kami ?”
“... kami bertanya, tolong kau jawab dengan cinta
...”, (Iwan Fals: Bongkar !!)
Terimakasih Risalah
Civitas
Minggu, 19 Mei 2013
Pustakawan dan Tiga Pilar Peradaban
BAB I
PENDAHULUAN
Terus terang selama ini saya
merasakan stagnasi proses atau dinamika pendidikan dalam Dunia Perpustakaan
yang membuat kita menjadi lambat dewasa, padahal kalau ditelisik lebih ojektif dan mendalam
– Ilmu Perpustakaan bukanlah ajang dari teori dan aplikasi subjektif sempit
belaka, tetapi juga sebuah ajang cipta – rasa – karsa dalam memposisikan
dirinya sebagai Inspirator Kecerdasan Sosial. Terlebih, sejauh yang saya
pahami, proses pendidikan Ilmu Perpustakaan justru ter-kotak-kan oleh hal – hal
yang bersifat analitis – teknis, artinya kita tidak memiliki medan tempur yang SENGIT yang sangat
memicu adrenalin kecerdasan kita sebagai makhluk pembelajar bagi Bangsa
ini, padahal kalaulah kita lihat beberapa disiplin Ilmu lainnya – mereka
memiliki sebuah medan tempur yang luas – liar – dan berbahaya, wajarlah mereka
begitu disegani oleh kehidupan sosial, lain halnya dengan kita yang menganggap
“pertempuran” tetapi sebenarnya pertempuran itu sendiri hanya dilakukan ditaman
kanak – kanak. Ironis sekali.
So
? kita harus EXPANSIVE !!
Kita juga mesti sadar tentang daya
dan kapasitas hakiki kita sebagai seorang Pustakawan, diantaranya kita bisa membantu
rekan disiplin ilmu lainnya dalam memperbaiki sejarah Bangsa kita sendiri yang
terekam oleh sitangan pemenang saja, kita juga dapat memperbaiki otak dan watak
dari umat yang tercengkram oleh belenggu informasi – informasi yang kurang dan
tidak mendidik, bahkan kita juga dapat saling bergotong – royong dengan kawan –
kawan disiplin ilmu lainnya dalam meluruskan kecarut – marutan Bangsa ini
dengan dasar pembacaan kita atas etika ke-Ilmu-an (nurani ke-ilmuwan).
Untuk itulah, agar kelaparan, kemiskinan,
dan stagnasi dalam proses pendidikan Ilmu Perpustakaan ini harus segara
diselesaikan se-segara mungkin (bukan berarti buru – buru), maka penulis
menyajikan satu Judul Emas yang kelak menjadi satu Rangkaian Keterangan Pasti
sehingga Insyaallah dapat menjadikannya satu Sistematik Penghentak bagi kita
semua yang membacanya dan menelaahnya dengan penuh hikmat, “Pustakawan dan Tiga
Pilar Peradaban”, itulah yang Insyaallah akan kita kupas dikesempatan kali ini.
Pada akhirnya, keresahan akan selalu datang menjenguk bagi kita yang hendak memfilsafati apa yang pantas untuk diamali. Keresahan itu sendiri sulit memiliki daya ledak saat ia tetap berada dalam bungkaman dan jeratan teoritis – teknis subektif akademis semata, tanpa sesekali dilukiskan dengan nyata melalui benturan – benturan intelektual dan praktikal. Dukungan sumber ide dan pengalam pribadi sebagai Tentara Kecerdasan sosial diharapkan akan menambah semarak penerimaan Pustakawan dan para Pemustakanya. Paling tidak, untuk menunjukkannya layak ditempatkan diatas kuncup ke-ilmiah-an akademis, sebagai renungan untuk membangun dan menjaga seluruh komposisi Disiplin Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang lebih baik – kuat dan objektif sebagai harapan umat informasi yang berdaulat.
* * * * *
BAB II
PUSTAKAWAN DAN TIGA PILAR PERADABAN
Sebenarnya apa yang disampaikan disini adalah representasi dari buku yang ditulis oleh Pak Fahri Hamzah (Kader PKS) dengan judul “Negara, Pasar, dan Rakyat”, hanya saja dari sekian banyak dan berbagai macam bobot pembahasannya, maka penulis mencoba memeras sebisa mungkin saripati yang terkandung didalamnya, sehingga kita sebagai Mahasiswa Teknik Kecerdasan Sosial mampu merelevansikan pembahasan didalam buku tersebut dengan berbagai permasalahan yang sebenarnya yang jauh lebih “seksi” untuk kita taklukan, dan itu (Insyaallah) sepadan dengan kapasitas nalar – eksekusi SDM kita, sebagai calon Pustakawan, Dokter Kecerdasan Sosial – Peradaban. Insyaallah !!
Ini bukanlah show bagi pribadi, tetapi ini adalah sebuah ajakan – khususnya bagi kesadaran intelektual kita masing – masing untuk selalu berpikir dan melakukan hal – hal yang tidak dapat dilakukan oleh orang rata – rata (Pekerjaan Pahlawan). Oke kita Mulai !!
Pustakawan dan Tiga Pilar Peradaban, kalau kita membuat sketnya, tentunya akan tergambar seperti apa yang terlihat dibawah ini:
Dimana :
1.
“A” = Negara à
Politik à
Ide à
Manajemen Dsitribusi “makanan” (Negarawan)
2.
“B” = Sosial àRakyat
à
Subjek atau asal muasal Pemerintahan/Negara (Kunci Sosial; artis, kyai, tokoh
masyarakat, dlsb)
3.
“C” = Pasar à
Ekonomi à
Uang à
Manajemen Produksi “makanan"
4.
“D” = Pustakawan à
? ? ! ! !
Selintas kita bertanya, kemana arah
tujuan pembahasan ini atas Tiga Pilar tersebut ? jawabannya sederhana, yakni
semaksimal mungkin kita “mengintervensikan kontribusi untuk turut memperbaiki
Tiga Pilar tadi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya”.
Saya yakin tentunya pembaca
melanjutkan pertanyaan tadi dengan pertanyaan baru, dengan alat atau cara apa
kita memperbaiki Tiga Pilar tadi ? jawabannya pun sederhana, ingat kata Albert
Einstein ? “Menjadi Buta Agama tanpa Sains, dan Sains menjadi Lumpuh
tanpa Agama”. Hakikatnya Agama juga berlaku pada “pasangannya” yang
lain, yakni Negara – Pasar – Sosial. Kenapa ? karena Agama adalah Hati atau Ruh
bagi Tiga Pilar tadi, apa artinya Negara à politik à
Ide tanpa Hati (cinta) ?, kemudian apa artinya Pasar à
ekonomi à
Uang tanpa hati (cinta) ?, lalu apa pula artinya Sosial à
Rakyat tanpa hati (cinta) ?, tentu runtuhlah Bangsa kita ini. Ingat apa kata
Bang Iwan Fals dalam Lagunya yang berjudul Bongkar ? “... Kalau cinta (hati)
sudah dibuang, jangan harap Keadilan akan datang ...”. tidak hanya Keadilan
yang akan datang manakala hati takterbuang, tetai kelembutan dan keindahan
hidup sesama manusia juga akan datang !! sepakat kan ?
Saya yakin, beberapa diantara kita
masih mempertanyakan kenapa cara atau alat yang kita pakai untuk memperbaiki
Tiga Pilar tadi adalah Agama ?. hakikatnya, ke-alamian Agama saat ini mengalami
pendangkalan, dimana Agama hanya dijadikan Bahasa Pengakuan atau Ritual Mahdhah,
padahal Nature dari Agama itu sendiri adalah Bahasa Penataan atau Wahyu, dimana
Bahasa Wahyu itu sendiri memiliki Tiga Nilai Paripurna (yang saya pahami), diantaranya:
1. Bahasa
Persatuan (Q.S al-Hujurat: 13) à DIA menciptakan bermacam – macam
dimensi kehidupan ini agar sesama Dimensi kehidupan itu sendiri saling
menaungi, tidak saling mencederai apalagi tumpang tindih.
2. Bahasa
Kesadaran Tugas Hidup (Q.S al-Baqarah: 30) à menjadi Manajer
kebutuhan hidup bagi Umat dan alam sekitarnya.
3.
Bahasa Prinsip Kehidupan Hakiki (Q.S al-An’aam:
162) à
aku bernegara, aku berkaya raya hanya untuk menggapai satu tata kehidupan yang
hakiki, yang saling menaungi, dan tidak ada penindasan.
Walau saya sendiri merasa belum
dapat sepenuhnya menghilangkan dahaga pembaca akan alasan seorang Pustakawan
dalam memperbaiki Tiga Pilar tersebut HANYA dengan satu cara atau alat Ilahi
tadi, tetapi itulah Agama, dibalik Agama tentunya ada Kitab-NYA, dan dibalik
kitab-NYA itu ada DIA, dan DIA lah yang Maha Paham atas berbagai kepelikan dan
krisis seluruh Dimensi kehidupan kita, karan DIA juga yang menciptakan semua
yang ada termasuk kita dan permasalahan kita, sementara kita hanyalah manusia
yang Maha Tidak Tahu atau Maha Bodoh. Yang jadi Permasalahannya disini
adalah... sudah sejauh mana pemahaman dan amalan kita dalam Ber-Agama ?
selesaikan dulu urusan Basic ini baru kita membicarakan Tiga Pilar ini. Karna
perubahan hakiki adalah perubahan yang dimulai dari pribadi à
famili à
komuniti à
negeri, sederhana kok !!
*
* *
Oke !!
Saya anggap pembaca sudah
menyelesaikan “urusan Basic” tadi (Insyaallah),,, jadi langsung saja kita Check
penyakit dan langkah penanggulangan atau pengobatan yang harus kita lakukan di
Tiga Pilar Peradaban tersebut, kita mulai dari:
1. Pasar :
Apa
krisisnya ?, BANYAK !! tapi satu yang kita ambil yang penulis ketahui paling
melatar belakangi kecarut – marutan Pasar, yakni: Pasar dikooptasi oleh
negara dan oleh mereka yang memiliki akses kekuasaan pribadi.
2. Negara :
Apa
krisisnya ?, BANYAK juga !! tapi satu yang kita ambil yang penulis ketahui
paling melatar belakangi kecarut – marutan Negara, yakni: Banyak Birokrat
yang tidak mengerti à sadar penuh à
tergerak, bahwa Negara itu berasal dari akumulasi harapan – harapan rakyatnya
akan keadilan dan kesejahteraan.
3. Rakyat :
Apa
krisisnya ?, GAK KALAH BANYAKnya !! tapi satu yang kita ambil yang penulis
ketahui paling melatar belakangi kecarut – marutan Rakyat itu sendiri adalah kedudukan
dan jabatan yang diraih dalam pemerintahan atau Non Pemerintah pada umumnya
tidak lagi dilakoni sebagai dinas (pelayanan), melainkan sebagai prestise dan
sumber penghasilan individual. Buktinya, rasa tanggung jawab oknum pemerintah
ttau non Pemerintah etrhadap kemajuan Bangsa masih dangkal.
Dan apa yang harus kita lakukan ?
Sebenarnya pertanyaan ini pantas
terjawab dengan dengan jawaban yang juga menjadi pertanyaan itu sendiri, ada
dua “jawaban” dalam menanggapi Krisis di Tiga Pilar tersebut, diantaranya
adalah:
1. Mampukan
Pendidikan di Jurusan tercinta kita ini mendidik kemudian melahirkan Pustakawan
yang kelak juga menjadi seorang Negarawan atau Hartawan yang Dermawan atau
Kunci Sosial bagi lingkungan sekitarnya ?. jika yakin sanggup, maka ini adalah
Proyek Hutan Jati !! butuh proses se-abad (mungkin), dan kalau memang TERGARAP,
maka saya persilahkan bagi pembaca untuk membaca buku “Dari Gerakan Ke Negara”
karangan M. Anis Matta. Insyaallah Pas “resepnya” !!
2. Namun
jika memang Pendidikan kita ini belum menyanggupinya, lantas yang perlu kita
lakukan adalah:
a. Perkuat
Soliditas antar Calon atau Pustakawan dan Organisasinya, masih ingat kan Fatwa
Ali bin Abi Thalib: “Kebaikan yang tidak diorganisir akan dengan mudah
dihancurkan oleh kejahatan yang diorganisir.” Kita tahu Pustakawan kita
orangnya pintar dalam ilmu, tetapi tidak pintar dalam bersatu. Itu saja.
b. “mencuci
otak” atau merayu orang – orang yang berada di Tiga Pilar tersebut bahwa
Perpustakaan itu gak kalah “seksi” sama Gedung Parlemen atau Masjid atau
Lembaga Pendidikan (Perluas Pergaulan), sejahat apapun orangnya, kalau kita
mendekatinya dengan hati – hati atau sabar dan tulus, maka Insyaallah rencana
kita dimudahkannya. Sekarang saya tanya, sudah berapa banyak dan baik hubungan
pembaca dengan orang yang aktif dalam Organisasi Politik – Bisnis – dan Sosial
?
“Saat kita
gagal menemukan Medan Tempur yang berat, maka saat itu pula kita gagal
menemukan semangat dan tekad juang yang kuat.”
* * * *
BAB III
KESIMPULAN
Selesai kita membahas ini, kita
semestinya teringat secara mendalam akan sebuah ungkapan klasik warisan nenek
moyang kita dahulu, dimana “Pelaut yang
ulung tidak akan lahir dari ombak yang sejengkal”, begitu juga halnya
dengan seorang Pustakawan, “Pustakawan
yang ulung tidak akan lahir dari permasalahan yang hanya terbentang antara
selembar atau dua lembar kertas saja”. Jadi jangan sampai ada “orang lain”
yang mengatakan pada kita, “bukankah
dahulu nenek moyag kalian dikenal sebagai penakluk gunungan ombak kehidupan ?
lalu kenapa kalian saat ini tidak mewarisinya sedikitpun ?.
Selesai kita membahas ini, kita
tentunya paham secara baik dan benar, bahwa Pintu menuju Medan Tempur yang
sengit itu kini telah terbuka lebar, dan agar langkah kaki kita berani
melangkah kedepan, maka kita tidak lagi perlu membawa “mainan – mainan” atau “cemilan”
dari akademis yang biasa kita taruh di “kantong baju” kita sebelumnya, kita
butuh perbekalan yang pantas, sebuah ketepatan kinerja, sebuah kerendahan hati,
sebuah ketulusan jiwa, sebuah kemantapan mental, sebuah ketinggian alam fikir,
sebuah ketenangan respons, sebuah kelenturan kontribusi, sebuah kepatuhan
kolektif, sebuah kebahagiaan juang, dst.
Dan merupakan sebuah kehormatan
bagi penulis sekiranya pembaca mengoreksi rangkaian keterangan yang tersaji ini
secara lebih objektif – ilmiah.
Demikian yang dapat penulis
sharingkan, semoga apa yang terbahas disini dapat menambah imajinasi kecerdasan
kita untuk tidak lagi berbuat atau berkarya layaknya orang rata – rata, Bangsa
ini membutuhkan orang yang berpikir dan berbuat diatas standard. Itu saja
Terimakasih
Salam Kecerdasan Sosial
Langganan:
Postingan (Atom)