Social Icons

a

Kamis, 04 Juli 2013

Atsmofir Pemasaran Buku di Indonesia


“ATSMOFIR PEMASARAN BUKU DI INDONESIA”


Oleh: Rhenald Kasali

Sumber: Jawapos 20 & 27 Juni 2011 (Memasarkan Buku I dan II)


Bismillah ...


Bagian I

Banyak pembaca bertanya, kalau tidak dengan cara bombastis, bagaimana cara memasarkan buku? Maklum, ada-ada saja cara para pendatang baru memasarkan bukunya belakangan ini. Mulai dari menebar uang recehan dan voucher seminar kepada penduduk kampung dari helikopter, sampai mengirim peti mati.

Tidak hanya itu, pengarang-pengarang baru itu juga mengajarkan cara-cara bombastis, cenderung jalan pintas kepada anak-anak muda. Sementara itu, tanpa menggunakan cara-cara seperti itu, saya sendiri bisa menjadi saksi bagi Anda, buku-buku yang ditulis dengan baik bisa menembus pasar secara elok. Saat kolom ini ditulis, saya baru menerima pemberitahuan dari penerbit bahwa cetakan ke empat buku ke-19 saya (Cracking Zone) telah beredar. Padahal buku ini baru diluncurkan empat bulan yang lalu.

Mungkin bukan hanya Cracking Zone yang menjadi koleksi pembaca. Bagi saya, di era informasi seperti ini buku yang baik akan berbicara sendiri. Sebaliknya, buku yang kurang bagus, mau dipromosikan seperti apapun pasti akan sulit diterima oleh pasar. Jadi mengapa tidak memulainya dari produk yang bagus?

Timbul pertanyaan, kalau cara-cara yang sehat saja masih bisa dilakukan, mengapa harus menggunakan cara-cara gila? Benarkah sebuah buku yang bagus isinya tidak akan dilirik pasar?


Fiksi atau Non-Fiksi

Bukan rahasia umum bahwa dunia buku adalah dunia fiksi. Buku-buku yang terjual ratusan ribu, bahkan jutaan kopi adalah buku-buku fiksi. Sementara itu buku-buku non-fiksi, kalau tidak menjadi perhatian publik atau tidak menjadi bacaan wajib di sekolah, paling banyak hanya terjual sepuluh atau dua puluh ribu kopi. Sedangkan mayoritas buku yang dibuat asal jadi, menjual seribu kopi saja susahnya setengah mati.

Namun dunia fiksi menjadi ramai karena banyak cerita dan karangan yang bisa diangkat secara fiktif, baik dalam penokohan, pemasaran, kemasan, maupun event-nya. Maka cara-cara fiktif dalam pemasaran buku fiksi adalah biasa.

Menjadi masalah bila seorang penulis tidak bisa membedakan keduanya. Buku-buku manajemen, ekonomi, science, dan self help (termasuk motivasi) adalah buku non-fiksi yang harus ditulis berdasarkan fakta dan pengetahuan, bukan sembarang bicara. Meski terlihat indah, mengharukan dan seakan memotivasi atau seakan-akan benar, karya non-fiksi tidak dapat disajikan tanpa dasar.

Jadi celakalah bila buku-buku non-fiksi yang dipasarkan dengan pendekatan fiktif, apalagi bila dibuat bombastis. Buku Harry Potter misalnya, bisa saja dibuat bombastis, memakai tokoh-tokoh animatif, diluncurkan tengah malam dengan ribuan remaja mengantri. Tetapi saya tak akan melakukannya untuk buku-buku manajemen (non-fiksi) yang saya tulis.

Jangankan pemasaran, isinya pun harus ditulis dengan penuh kehati-hatian. Anda memerlukan landasan teori untuk menyampaikan kebenaran meski bahasanya dibuat semudah mungkin untuk dipahami dengan contoh yang dekat pada pembacanya.  Mungkin Anda masih ingat kontroversi yang dialami Robert Kyosaki yang terkenal dengan buku Rich Dad-Poor Dad-nya. Kisah bapaknya yang kaya (yang menjadi fokus karyanya) di bongkar oleh John Reed (Harvard) yang ternyata kisah yang diangkat Kyosaki hanya fiktif belaka.

Kalau Anda dalami lebih jauh, Anda akan menemukan masalah moral di dalam buku ini yang mungkin telah turut melahirkan orang-orang yang ingin cepat kaya yang sekarang menjadi buronan polisi dan KPK. Masalah moral itu adalah serba mementingkan  si kaya, objektif kewirausahaan adalah cepat kaya, berani berspekulasi, sekolah tidaklah penting, dan jangan akui orang tua kandung kalau dia miskin.

Berbahaya bukan? Entahlah bila Anda mengatakan tidak. Tetapi bagi saya, hal seperti ini banyak kurang patutnya.

Nah, bagaimana respons para pengikut Robert Kyosaki? Anda mungkin sudah bisa menerka, para pengikut yang kurang cerdas, tentu akan beranggapan postulasi Kyosaki benar. Mereka ingin cepat-cepat sukses dan cara-cara bombastis pun digunakan. Buku mereka mungkin tidak sebagus buku yang benar-benar bagus, sebab mereka beranggapan semua itu tidak penting. Yang penting heboh dan dibeli. Soal dibaca nomor dua. Dipakai untuk hidup tidaklah penting, yang penting mereka dianggap hebat, kreatif, dan berani. Lalu cepat menjadi kaya.  Mereka lupa, buku adalah karya ilmiah. Dengan buku, kita tidak asal bicara atau menulis. Kita menyajikan fakta, hubungan dan kebenaran. Bukan asal bicara, asal gagah-gagahan. Kalau tak punya ilmu, tulis saja biografi, tak usah sok ilmu-ilmuan, atau mencaci maki ilmu pengetahuan.

Inilah cara-cara yang tidak dianjurkan, karena cara-cara seperti ini hanyalah cocok untuk memasarkan buku-buku fiktif, yang hanya merangsang imajinasi. Minggu depan akan saya lanjutkan dengan pengalaman saya memasarkan buku secara elok. Selamat berkarya.



Bagian II


Melanjutkan kolom minggu lalu maka saya akan mengulas bagaimana memasarkan buku nonfiksi secara lebih elok.  Pertama-tama tentu kita harus memahami bagaimana sebuah buku dipasarkan.  Di negara-negara maju, penulis tinggal duduk manis, penerbitlah yang bekerja keras memasarkan buku.  Mereka berburu naskah-naskah bagus dari pengarang atau ilmuwan terkemuka, dan bila ada kesepakatan maka penerbitlah yang merancang strategi pemasarannya.  Semuanya tentu dimulai dari produk yang bagus, yang didisain secara khusus, dipilih waktu yang tepat, dan dikomunikasikan melalui strategi promosi tertentu.


Tendensi Asal-asalan

Namun di sini situasinya terbalik.  Penerbit cenderung enggan berpromosi.  Ada tendensi mereka hanya berburu naskah sebanyak mungkin, bahkan siapa saja boleh membuat buku, bagus atau jelek itu relatif.  Bahkan ada penerbit besar yang terkesan hanya punya target menerbitkan naskah sebanyak-banyaknya dalam setahun.  Penulis-penulis muda yang cerdik memanfaatkan penerbit yang asal membuat buku dengan membuat judul yang "menggoda" meski isinya sesungguhnya tidak punya dasar ilmiah sama sekali.  Buku itu diedarkan ke toko-toko buku dengan dibungkus cover plastik, dan pembaca kesulitan menerka isinya.

Ketatnya persaingan antar penerbit dan antar buku membuat penerbit gelap mata. Bahkan dalam industri buku-buku pelajaran sering kami temui buku-buku yang sangat tidak bermutu yang dipakai sebagai buku acuan sekolah.  Sebagai orang tua, saya masih sering duduk bersama anak bungsu saya, menemaninya belajar dan menafsirkan isi buku yang dipakai di sekolahnya.  Dari situlah saya mengerti, bagaimana anak-anak didik kita kebingungan mengikuti ujian nasional atau kenaikan kelas.  Buku-buku itu ditulis dengan bahasa yang berputar-putar, terkesan ditulis oleh orang yang kurang berilmu dan tak bisa menulis dengan baik.  Rumus-rumus ditaburkan tanpa konsistensi istilah, yang kalau dibaca halaman lebih lanjut akan lebih membingungkan.  Saya tidak bisa mengerti apa rahasia seorang anak didik bisa mendapat nilai yang tinggi di sekolahnya dari buku-buku wajib yang dibuat seperti itu.

Dalam industri buku umum, hal serupa juga terjadi. Ada pengalaman beberapa orang yang tidak bisa menulis buku bisa berbangga mengaku sebagai penulis buku.  Bukan, ia tentu bukan penulis. Pembaca saja yang dikibuli.   Buku itu adalah karya penerbit yang menuliskan pikiran-pikiran orang itu.  Mengapa penerbit mau melakukannya?  Wajar saja kalau orang yang saya maksud memiliki nama besar.  Katakan saja sebuah biografi yang menyangkut tokoh tertentu, wajar kalau bukunya dibuat dengan bantuan penulis atau ghost writer.  Tapi yang saya maksud bukan ini.  Buku self help atau manajemen yang ditulis seorang pendatang baru ternyata juga bisa dituliskan oleh penerbit hanya karena si penulis datang dengan iming-iming akan membeli lima atau sepuluh ribu kopi.  Jadi Anda bisa bayangkan bagaimana controlling idea isi buku tersebut: Amburadul dan asal terbit.

Unik juga kok buku-buku seperti itu bisa laku dan penerbit senang saja membela mereka?  Jawabnya adalah karena penerbit dapat uang.  Dan saya saksikan buku-buku itu dipasarkan penulisnya dengan diskon khusus, dibundling dengan seminar bombastis, yang dilengkapi iming-iming paket seminar seharga lima juta rupiah, tapi kalau beli buku seharga seratus ribu akan dapat seminar gratis.  Ajaib ya? Buku itu laku bak pisang goreng.

Namun demikian, seharusnya buku yang baik memang menjadi tanggungjawab penerbit dan penulis.  Penerbit harus mampu mempromosikan isi buku dan membuatkan desain yang bagus, serta meletakkannya pada lokasi yang strategis di toko buku.  Namun lagi-lagi karena penerbit dikejar target sekian ratus judul buku dalam setahun, maka kesan mass production pun tak terhindarkan.  Cover dan isi dibuat dengan desain asal jadi. Bahasa dan content sulit dipertanggungjawabkan, dan akhirnya buku itu hanya bertahan beberapa bulan saja di toko buku.

Menurut saya, sebuah buku yang baik tak memerlukan bombastisme dalam pemasarannya asalkan sedari awal penulisnya benar-benar memikirkan situasi yang dihadapi pembacanya.  Buku yang baik itu langka karena ditulis dengan penuh kesungguhan, dari jam terbang penulisnya yang tinggi.  Ia menggabungkan ilmu pengetahuan dengan kebutuhan praktis pembacanya. Bahasanya sederhana sehingga mudah dipahami, kaya contoh, banyak ilustraasi dan isinya mengalir, penuh pandangan-pandangan baru yang didapat dari kajian ilmiah.

Dengan demikian, penulis buku yang bagus harus percaya diri. Tak perlu mengundang sensasi seakan-akan buku yang bagus tak akan diperhatikan kalau tidak bombastis.  Justru sebaliknya cara bombastis akan mengundang kecurigaan pasar generasi baru yang sangat kritis.  Kalaupun buku-buku seperti ini mendapat pujian, kita pun dapat menerkanya, itu hanyalah pujian semu yang dikarang-karang para penulis buku dan para karyawannya saja.

Sekarang ini kita semua hidup dalam era jejaring sosial yang serba gratis.  Pasarnya adalah Generation-C yang terhubung satu dengan lainnya.  Sebuah buku yang bagus akan cepat diulas dari mulut ke mulut, dari satu layar monitor ke layar monitor lainnya.  Sebaliknya, buku yang buruk akan dikutuk ramai-ramai pula.  Jadi dalam sosial media, Anda tak bisa lagi memasarkan buku dengan jargon jualan kecap.  Seperti kata-kata: belilah, dasyat, tak ada duanya, dan seterusnya.  Jelaskan saja bagian yang menarik, biarkan pembaca menyimpulkan sendiri.


Peran Penerbit

Dulu, penerbit masih sering beriklan.  Namun sejak tarif iklan pada media konvensional melonjak drastis, penerbit urung berpromosi di media cetak.  Penerbit lebih menjalankan peran produksi dan distribusi, lalu bayar rolayti antara 10 hingga 12 persen.  Paling jauh penerbit hanya memberi dukungan minimal pada saat book launching.

Dari pengalaman saya, sikap penerbit memang diskriminatif.  Artinya, kalau Anda penulis besar dan nama sudah dikenal, atau penerbit berkeyakinan buku Anda akan meledak, maka mereka akan membuatkan program promosi yang bagus.  Mobil box distribusi akan dilengkapi billboard aneka warna, display dipajang di toko buku, dan sesekali Anda akan ditampilkan di media massa.  Selebihnya, penerbit hanya melaporkan berapa royalti yang telah ditransfer setiap tiga bulan sekali.

Ini berarti peran penerbit minimal sekali, dan lagi-lagi karena buku yang mereka cetak dan edarkan setiap bulan jumlahnya sangat massal, sehingga tak ada jaminan buku Anda akan bergerak dinamis hanya dengan menyerahkan nasib Anda ke tangan penerbit.  Dari situlah saya meyakini, peran penulis sangat besar. Penulis harus bisa menjadi distributor yang mampu menjual buku lebih banyak dari masing-masing toko buku.  Tentu saja Anda tak perlu membawa peti mati atau membakar petasan besar, cukup menstimulasi orang untuk mendiskusikannya. Di era social media ini, buku yang baik akan betcerita dengan sendirinya.  Jadi? Percaya diri saja, dan jangan berhenti menulis. Perkaya ilmu Anda sehingga membuat pasar Anda percaya pada Anda,  perbaiki kualitas buku Anda dari waktu kewaktu, dan tak perlu lebay. [Rhenald Kasali]


Alhamdulillah ...

Terimakasih                                                                                                                      Atsmofir Pemasaran Buku di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar